Terminal afferen
Nosiseptor tidak hanya mentransmisi pesan nyeri, yang berpusat pada spinal cord, tapi juga melepas berbagai macam molekul dari terminal perifer. Molekul-molekul ini yaitu seperti neuropeptide SP dan CGRP, mempengaruhi jaringan lokal dengan beraksi pada pembuluh darah dan sel sel lain sehingga menyebabkan vasodilatasi dan ekstravasasi plasma, kunci dari inflamasi neurogenik. Inflamasi neurogenik mengubah lingkungan ekstraseluler dari terminal nosiseptor perifer, yang bisa mengsensitasi nosiseptor pada stimulasi berikutnya.
Kompleksisitas biokimiawi dari subtipe nosiseptor paralel dari pola innervasi perifer yang berbeda. Sebagai contoh, beberapa marker menggambarkan jumlah nosiseptor yang innervasi perifernya dibatasi pada jaringan tertentu. Demikian, nosiseptor yang mengekspresi subtipe Mrgprd dari reseptor D-protein coupled menginnervasi kulit, bukan organ viscera.
Proyeksi sentral nosiseptor
Cabang utama afferen primer beralhir di dorsal horn dari spinal cord, yang dibagi menjadi 5 parallel laminae, berdasarkan sitoarsitektur nya. Neuron-neuron di lamina III dan IV diinnervasi oleh serat bermyelin yang berespon terhadap sentuhan innocuous (tidak menimbulkan jejas). Sedangkan neuron-neuro di lamina I, II, V menerima input dari afferen nosisepsi dan merupakan sambungan yang penting dalam transmisi informasi nyeri, secara lokal dan via proyeksi neuron pada laimna 1 dan V, yang menargetkan otak.
Input stratifikasi yang luar biasa pada spinal cord telah didemonstrasikan lanjut oleh pola proyeksi yang berbeda dari nosiseptor AG dan serat C. Neuron-neuro pada Lamina I spinal cord diinnervasi oleh AG dan serat C. Konsisten dengan input ini, neuron-neuron mayor di lamina I diaktivasi secara selektif oleh stimulus noxious, dan dengan demikian disebut sebagai neuron-neuron spesifik nosiseptif. Lamina I juga mengandung yang biasa disebut neuron wide dynamic range (WDR), yang menerima input konvergen dari serat nosisepsi dan non nosisepsi. Lamina I juga mengandung neuron-neuron yang muncul untuk mengkode sensasi innocous selektif., gatal dan sentuhan sensual.
Meskipun kebanyakan Lamina I adalah interneuron yang melekat di sirkuit lokal dorsal horn, jumlahnya sedikit namun memiliki jumlah yang kritis (-10%) adalah neuron-neuron proyeksi yang mengakses pusat proses nyeri secara langsung di otak.
Lamina II utamanya mengandung interneuron nosiresponsif dan bisa dibagi menjadi regio luar (II0) dan dalam (IIi), yang menerima input dari afferenn peptidergik dan non-peptidergik, Lamina II yang paling ventral ditandai oleh adanya sebuah kelompok interneuron eksitasi yang mengekspresikan isoform gamma dari protein kinase C (PKCy). Sebaliknya nosiseptor utama memberi input ke bagian dorsal dari lamina II, neuron-neuron PKCY menjadi target dari afferen non-nosisepsi bermyelin dan dari mekanoreseptor C dengan ambang batas yang rendah, dan berpartisipasi dalam proses jejas saraf yang diinduksi nyeri persisten.
Meskipun beberapa neuron-neuron pada lamina V merupakan spesifik nosisepsi, kebanyakan neuron-neuron WDR yang menerima konvergen innocous dan input monosinaptik noxious dari serat AB dan AG, dan input polisinaptik indirek dari serat C. seperti di lamina I, porsio dari neuron dari lamina V adalah neuron projeksi yang membawa informasi kepada otak
Jalur nyeri ascendens
Proyeksi neuron-neuron di lamina I dan V yang berasal dari jalur ascendens yang multipel.diantaranya yaitu traktus spinotalamikus dan spinoretikuler, dimana memproyeksi ke berbagai regio otak yang berhubunbgan dengan proses nyeri, termasuk thalamus, periaquaductul grey (PAG), regio parabrachial, formasio retikular pada medulla, hypothalamus, dan amygdala. Dari area ini informasi nosisepsi ditransfer ke regio otak yang terlibat dalam aspek sensory-discriminatory (korteks somatosensory) dan aspek affective-motivational (insula dan anterior cingulata cortex) dari sensasi nyeri, seperti area yang terlibat dalam modulasi descenden pada neuron spinal cord yang mentransmisi pesan nyeri ke otak. (rostral ventromedial medulla; RVM)
Sensitasi dan nyeri persisten
Pada jejas, dua mskanisme yang sering mendasari proses sensitisasi yang mengarah ke allodynia dan hiperalgesia. Yang pertama melibatkan sensitisasi perifer, dari nosiseptor itu sendiri, yang kedua sensitisasi sentral, hasil dari sensitisasi dari neuron-neuron downstream CNS dalam jalur nyeri.
Sensitasi perifer
Sebagai tambahan, secara lqngsung mengamtivasi nosiseptor, jejas jaringan memicu pelepasan mediator - mediator pro-inflamasi dari neuron-neuron afferen primer dan dari sel non neuron. Diantaranya yaitu, neurotransmitter (serotonin, glutamate), peptide (SP, CGRP, bradikinin), ATP, proton, lipid,(prostaglandin, tromboxan, leukotrien, endocannabinoid), chemokine dan sitokin ( interleukin-1B, interleukin-6 dan tumor necrosis factor A, (TNF A) dan neutrophine ( nerve growth factor (NGF), artemin neurterin, GDNE, dlial derived neurotrophic actor (GDNF),yang beraksi pada reseptor yang diekspresi oleh terminal perifer dari nosiseptor untuk meningkatkan respons terhadap stimulasi berikut. Peningkatan ini biasa terjadi melalui aktivasi sinyal kaskade second messenger yang secaa langsung mengsensitasi kanal sensoris. Sebagai contoh, inflamai menyebabkan pelepasan dari bradikinin dan prostaglandin E2, yang mengurangi ambang batas untuk aktivasi panas dari TRPV1 melalui sevond messenger seperti protein kinase C.
Sensitisasi sentral
Sebagai hasil dari peningkatan aktivasi perifer berhubungan dengan jejas jaringan atau jejas saraf, neuron- neuron di dorsal horn dari spinal cord dan otak mengalami perubahan jangka panjang ,sebuah proses yang dikenal dengan sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral berbagi banyak properti dengan bentuk lain pada plastisitas jangkapanjang yang diobservasi di sistem saraf pusat. Di spinal cord, bentuk plastisitas ini dapat dilihatdari perubahan yang signifikan dalam properti firing neuron-neuron: berkurangnya ambang batas aktivasi, meningkatnya aktivitas spontan.
Berbagai macam mekanisme telah diajukam untuk mendasari perkembangan sensitisasi sentral. Yang paling dipelajari yaitu aktivasi subtipe NMDA, dari reseptor glutamate, sebuah proses yang secara fungsional mirip dengan plastisitas neuronal yang berimplikasi pada pembentukan memori. Stimulasi akut dari nosiseptor memicu pelepasan glutamate dari terminal afferen primer. Glutamate mengaktjvasi calciumimpereable AMPA dan reseptor kainate, namun gagal untuk mengaktivasi reseptor NMDA. Akan tetapi pelepasan glutamate, seperti pada jaringan persisten atau jejas saraf, neufon-neuron spinal cord postsinaps cukup didepolarisasi untuk mengikat reseptor NMDA calcium-permeabel. Kalsium masuk melalui kanal kanal ini menuju perubahan molekuler jangka panjang di dalam neuron spinal cord., Dengan demikian memperkuat hubungan sinaptik antara neuron dan nosiseptor, dan memningkatkan efek sentral pada input nosisepsi (bahkan non-noxious).
Kehilangan kontrol inhibisi juga merupakan kontributor mayor dalam sensitasi sentral. Penginhibisi Interneuron tersebar banyak di semua dorsal horn spinal cord, dan neuron-neuron ini meregulasi transmisi informasi noxious dengan meredam input eksitasi dan mencegah overaktivasi dari sirkuit nosisepsi. Pada jejas , akan tetapi, ada penurunan input inhibitor ke neuron spinal cord superfisial, yang meningkatkan output spinal cord yaitu stimulus respon nyeri, dan sebagai tambahan bisa menyingkap input dari afferen primer non-nosisepsi. Ada bukti yang mengatakan bahwa disinhibisi bisa disebabkan oleh perubahan efek normal transmitter inhibitor. Sebagai contoh gamma-aminobutirik acid (GABA), dan glisin, sekarang mengeksitasi, dibanding menginhibisi, neuron post sinaps, atau karena perubahan reseptor inhibisi pada neuron spinal cord, membuat respon transmitter kurang responsif sebagai transmitter inhibitor.
Kehilangan interneuron inhibitor secara sekunder telah dilaporkan karena adanya jejas masif. Meskipun besarnya kehilangan masih didebatkan.
Sensitasi primer juga melibatkan interaksi antara mikroglia, astrosit dan neuron spinal cord. Dalam menghadapi pelepasan faktor solubel dari terminal –terminal dari serat afferen primer pada jejas, mikroglia diaktifkan dan berakumulasi dalam dorsal horn superfisial. Mikroglia melepas molekul sinyal patofisiologik, termasuk interleukin-1B, interleukin-6 TNFa, fractalkine dan brain derived neurotropic factor (BDNF), yang meningkatkan sensitasi sentral dan karena itu berkontribusi pada nyeri persisten. Astrosit juga diinduksi di spinal cord ketika jejas terjadi. Meskipun kontribusi sensitasi sentral masih kurang jelas, astrosit berperan penting pada maintenance dibanding induksi nyeri persisten.
Akhirnya, sensitasi jalur nyeri juga dihasilkan dari perubahan di batang otak. Sebagai tambahan dari peran yang telah kita ketahui bersama pada inhibis descendens dari proses nyeri, neuron neuron pada midbrain PAG dan RVM bisa membantudalam memproses sinyal nyeri pada level spinal cord. Dalam kondisi nyeri persisten, efek fasilitator ini ditingkatkan. Sebenarnya,nyeri persisten membutuhkan input fasilitator yang terus menerus dari neuron batang otak ke spinal cord. Sebagai contoh, dalam nyeri yang diinduksi jejas pada saraf (neuropatik), mekanisme allodynia bisa diblok oleh injeksi lidokainke dalam RVM. Sensitasi pada sirkuit fasilitator supraspinal terjadi melalui mekanisme serupa yang melibatkan sensitasi neuron spinal cord. Demikian aktivasi reseptor NMDA telah berimplikasi dalam sensitisasi neuron neuron RVM dan baru-baru ini, BDNF dan mikroglia berkontribusi dalam proses yang telah dilaporkan.
Target Analgesik
Peningkatan pengetahuan kita terhadap mekanisme yang memproduksi nyeri, secara umum proses sensitisasi, telah diidentifikasi sejumlah target untuk penanganan nyeri. Sebagai tambahan, kita telah mengerti mekanisme kerja dari analgesik tradisional seperti opioid dan NSAID. Seperti farmakoterapi lainnnya, tujuannya yaitu untuk menangani nyeri sambil membatasi dampak yang merusak dari ikatan obat pada tempat yang tidak berhubungan dengan proses nyeri.
Untuk alasn ini, target memperbanyak ekspresi element dari jalur nyeri, sebagai contoh, kanal sodium spesifik sensori-neuron. Meskipun telah terbukti sangat sulit untuk membuat obat yang selektif pada kanal ini, ternyata ada signifikansi bahwa antidepresan trisiklik, yang efektif dalam nyeri neuropatik (neuropatik diabetik dan neuralgia postherpetik) tidak hanya monoamine uptake inhibitor tapi juga sempurna dalam blokade kanal sodium dependent. Itu memungkinkan karena kegunaanya dalam generasi blokade aksipotensial dan transmisi nosiseptor. Kepentingan mentarget nosiseptor selanjutnya didemonstrasikan oleh capsaicin topikal dosis tinggi untuk nyeri neuropatik, sebuah pendekatan yang mungkin memproduksi degenerasi tiba-tiba dari terminal nosiseptor. Sebanyak element dari lingkungan inflamasi menggunakan efek melalui TRPV1(model preklinik dari kanker tulan metastatis), perkembangan antagonis TRPV1 sebagai penanganan nyeri juga sedang diusahakan. Akhrinya ada bukti yang sangat menggembirakan yang menarget pada mediator pro inflamasi seperti NGF dan TNFa dengan menetralisis antibodi yang efektif pada penanganan nyeri inflamasi kronik seperti arthritis.
Kelas analgetik lain tidak secara spesifik menarget nosiseptor, tetapi beraksi pada level berbda di jalur transmisi nyeri. Agen-agen ini yaitu, opioid. (contoh morphin) tetapi juga beberapa calcium channel blocker, ziconotide, sebuah toxin derivat dari siput kerucut yang menarget pada N-type calcium channel. Juga termasuk dalam beberapa agent umum seperti antikonvulsan (sebagai contoh gabapentin dan pregabalin), yang merupakan terapi utama pada nyeri neuropatik. Meskipun target gabapentin dan pregabalin tidak dapat disangsikan subunit a28g dari kanal kalsium. Mekanisme aksi dari campuran ini masih merupakan misteri. Peran yang menionjol dari reseptor NMDA dalam perkembangan sensitisasi sentral, kanal ini masih menjadi target yang menarik. Karena reseptor NMDA diekspresikan di selruuh sistem saraf, akan tetapi, potensi terjadinya efek samping antagonis reseptor NMDA masih tinggi.
Akhirnya pendekatan baru sedang dikembangkan untuk mencegah kontribusi sel glial pada nyeri kronik. Demikian, modulator glial, yang secara langsung mempengaruhi fungsi sel glia, dan obat purinergik yang mencegah aktivasi sel glia dengan ATP, merupakan kandidat obat untuk nyeri neuropatik. Meskipun banyak tantangan, manajemen farmakoterapi di masa depan akan maju. Dengan begitu banyak detail nosisepsi dan proses sensitasi belum ditemukan, tidak perlu dipertanyakan bahwa kesempatan untuk berkembangnya obat akan tetap berkembang.
No comments:
Post a Comment