Tuesday, March 31, 2015

Sistem Pembiayaan Bank Syariah

Definisi Pembiayaan


Sistem Pembiayaan Bank Syariah
Fungsi pembiayaan syariah tidak jauh beda dengan konvensional yaitu menghimpun dana dari masyarakat kemudian menyalurkannya kembali atau lebih dikenal sebagai fungsi intermediasi. Dalam prakteknya bank syariah menyalurkan dana yang diperolehnya dalam bentuk pemberian pembiayaan, baik pembiayaan modal usaha maupun konsumsi sedang pinjaman (kredit) bagi bank konvensional.

Adapun pengertian pembiayaan menurut berbagai literatur yang ada antara lain sebagai berikut :

1. Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa:
“Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayaai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu imbalan atau bagi hasil”

2. Menurut Muhammad (2002:260) menyatakan bahwa :
“Pembiayaan secara luas berarti financing atau pembelanjaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang lain”. 

Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai unutk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syariah kepada nasabah.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembiayaan adalah penyediaan-penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

Definisi pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah


Istilah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah belum dikenal oleh masyarakat. Masyarakat lebih mengenal istilah pinjaman atau kredit pada bank konvensional sehingga mayoritas bank yang berkembang di Indonesia adalah bank yang berorientasi pada prinsip konvensional.

Adapun pengertian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah sebagai berikut:

1. Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1998 pasal 1 angka 12 tentang Perbankan menyatakan bahwa:

“Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayaai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 pasal 1 angka 13 tentang Perbankan menyatakan bahwa:

“Prinsip syariah adalah aturan perjanjian dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip Mudharabah, pembiayaan berdasarkan prinsip Musyarakah, pembiayaan berdasarkan prinsip Ijarah, dan pembiayaan berdasarkan Murabahah”

Dalam perjanjian berdasarkan prinsip syariah, bank percaya terhadap nasabah, dalam jangka waktu yang telah disepakati bersama akan mengembalikan pinjaman tersebut disertai dengan imbalan ata bagi hasil sebagai imbalan jasa.

Berdasarkan uraian pengertian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, maka dapat disimpulkan unsur-unsur yang terdapat pada perjanjian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yaitu:

1. Kepercayaan
Yaitu adanya keyakinan dari pihak bank atas prestasi yang diberikan kepada nasabah peminjam dana yang akan dilunasinya sesuai dengan perjanjian pada waktu tertentu.

2. Kesepakatan
Di dalam pembiayaan juga mengandung unsur kesepakatan antara si pemberi pembiayaan dengan si penerima pembiayaan. Kesepakatan ini dituangkan ke dalam suatu perjanjian, masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing. Kesepakatan penyaluran pembiayaan dituangkan dalam akad kredit yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, yaitu pihak bank dan nasabah.

3. Waktu
Yaitu adanya jangka waktu tertentu antara pemberian pembiayaan dan pelunasannya. Jangka waktu tersebut sebelumnya disetujui atau disepakati bersama antara pihak bank dan nasabah peminjam dana.

4. Risiko
Faktor risiko kerugian dapat diakibatkan dua hal, yaitu risiko kerugian yang diakibatkan nasabah sengaja tidak mau membayar pembiayaannya padahal mampu dan risiko kerugian yang diakibatkan karena nasabah tidak sengaja terkena musibah seperti bencana alam. Risiko ini menjadi tanggung jawab bank, baik risiko yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

5. Balas Jasa
Akibat dari pemberian fasilitas pembiayaan, bank tentu mengharapkan suatu keuntungan dalam jumlah tertentu. Keuntungan atas pemberian pembiayaan tersebut yang kita kenal dengan nama bagi hasil bagi bank syariah.


Fungsi Pembiayaan


Menurut Karim (2006:105) fungsi utama pembiayaan adalah untuk pemenuhan jasa pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat dalam rangka mendorong dan melancarkan kegiatan usaha diberbagai bidang yang kesemuanya itu ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dengan pembiayaan, uang yang mengendap dapat digunakan untuk pembelian barang, untuk berusaha dan untuk meningkatkan pendapatan sehingga daya guna uang tersebut meningkat dan peredaran uang menjadi lancar.


Tujuan Pembiayaan


Tujuan pembiayaan mempunyai cakupan yang lebih luas, baik bagi bank yang memberi pinjaman, debitur sebagai penerima pinjaman serta pihak-pihak yang berkepentingan seperti masyarakat luas, pemerintah maupun dunia Internasional.

Menurut Warman Djohan (2003:39) tujuan pembiayaan yaitu:

a. Dilihat dari segi bank (kreditur), maka tujuan pembiayaan terdiri atas:

1. Profitabilitas yaitu tujuan untuk memperoleh hasil dari pembiayaan berupa keunutngan yang diterima dari nisbah bagi hasil.
2. Safety yaitu keamanan dari prestasi atau fasilitas yang diberikan harus benar-benar terjamin sehingga tujuan profitabilitas dapat tercapai tanpa hambatan yang berarti.

b. Dilihat dari segi nasabah (debitur), maka tujuan pembiayaan terdiri dari :

1. Profitabilitas yaitu sama halnya dengan bank, maka debitur bertujuan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya atas usaha yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan tersebut.
2. Responsibility bertujuan bagaiman debitur memanfaatkan dalam memperoleh keuntungan atas fasilitas yang diberikan, dapat memenuhi kewajiaban sebaik-baiknya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

Jaminan Pembiayaan


Menjalankan suatu usaha apapun tentu akan mengandung suatu tingkat kerugian. Risiko ini dapat saja terjadi akibat suatu musibah yang tidak dapat dielakkan seperti terkena bencana alam, tetapi risiko yang paling fatal akibat nasabah yang mampu, tetapi tidak mau membayar kewajibannya. Adanya risiko kerugian nasabah tidak sanggup lagi untuk membayar semua kewajibannya baik untuk sementara waktu atau selamanya harus segera diantsipasi oleh dunia perbankan. Kalau tidak, sudah dapat dipastikan bahwa pembiayaan tersebut macet alias tidak terbayar lagi. Ketidakmampuan nasabah dalam melunasi pembiayaannya dapat ditutupi dengan suatu jaminan kredit. Fungsi jaminan pembiayaan adalah untuk melindungi bank dari kerugian.

Jaminan dalam penjelasan pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No.10 1998 dijelaskan bahwa pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko sehingga dalam pelaksanaanya bank harus memperhatikan asas-asas pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajiban sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.

Penjelasan pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No.10 tahun 1998 yang dimaksud dengan jaminan pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yakni berwujud keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah untuk melunasi kewajiban sesuai dengan perjanjian.

Menurut Rachmadi Usman (2002:828), jaminan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah benda berwujud tertentu yang bernilai ekonomis guna dipakai sebagai pelunasan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah jika nasabah wanprestasi (kelalaian/kealpaan). Jadi jaminan mempunyai fungsi memperkecil risiko kerugian yang mungkin akan timbul apabila sipeminjam wanprestasi.

Hal-hal yang dapat dijadikan jaminan pembiayaan atau anjungan oleh calon debitur adalah sebagai berikut:

a. Jaminan dengan barang-barang seperti:
1. Tanah;
2. Bangunan;
3. Barang dagangan;
4. Barang-barang berharga lainnya.

b. Jaminan surat berharga seperti:
1. Sertifikat tanah;
2. Sertifikat deposito;
3. Dan surat berharga lainnya;

c. Jaminan orang atau perusahaan
Yaitu jaminan oleh seseorang atau perusahaan kepada bank terhadap fasilitas pembiayaan yang diberikan. Apabila pembiayaan tersebut macet, orang atau perusahaan yang memberikan jaminan itulah yang diminta pertanggungjawabannya atau menanggung risikonya.

Pembiayaan Mudharabah 


Adapun pengertian pembiayaan Mudharabah menurut para ahli adalah:

1. Menurut Antonio dalam bukunya”Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum” bahwa:
“Mudharabah berasal dari kata dharb, artinya memukul atau berjalan, pengertian memukul ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha secara teknis Al-Mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola keuntungan usaha secara Mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan kelalaian si pengelola seandainya kerugian itu disebabkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut”.
“Mudharabah adalah perjanjian kerja sama untuk mencari keuntungan antara pemilik modal dengan pengusaha (pengelolah dana). Perjanjian tersebut bisa saja terjadi antara deposan (investment account) sebagai penyedia dan dan bank syariah sebagai mudharib”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola keuntungan usaha.



Pembiayaan Musyarakah/ Syirkah


Menurut Latifa dan Lewis (2001:45) “Musyarakah adalah kemitraan dalam suatu usaha, dimana dua orang atau lebih menggabungkan modal atau kerja mereka, untuk berbagi keuntungan, menikmati hak-hak dan tanggung jawab yang sama”

Sedangkan menurut Sofiniyah Ghufron dkk (2004:56)., al-Musyarakah atau syirkah adalah akad kerjasama usaha patungan antara dua pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif, di mana keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Meskipun rumusan yang dikemukakan para ahli tersebut redaksional berbeda, namun dapat difahami intinya bahwa syirkah adalah perjanjian kerjasama antara dua pihak atau beberapa pihak, baik mengenai modal ataupun pekerjaan atau usaha untuk memperoleh keuntungan bersama.

Hubungan Pembiayaan dan Pendapatan


Pembiayaan merupakan jasa pelayanan yang diberikan dalam rangka melancarkan atau membantu kegiatan usaha masyarakat. Dalam pemberian pembiayaan inilah pihak bank dapat memperoleh hasil dari pinjaman tersebut yang berupa pendapatan. Besar kecilnya pembiayaan dapat mempengaruhi jumlah pendapatan yang diterima oleh bank. Ketika pembiayaan lancar maka dapat meningkatkan pendapatan bagi pihak bank yang dapat mendorong kinerja dalam perbankan. Rachmadi Usman (2002:831).

Pengertian Bank dan Lembaga Keuangan


Pengertian Bank dan Lembaga KeuanganBank berasal dari kata Italia banco yang artinya bangku. Bangku inilah yang dipergunakan oleh banker untuk melayani kegiatan operasionalnya kepada para nasabah sehingga istilah bangku secara resmi popular menjadi bank (Kasmir, 2003:78). 

Menurut Kasmir (2003:11) bank secara sederhana dapat diartikan sebagai:

“Lembaga keuangan yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa bank lainnya”.

Sedangkan pengertian lembaga keuangan menurut Kasmir (2003:11) sebagai berikut:

“Setiap perusahaan yang bergerak dibidang keuangan yang kegiatannya baik hanya menghimpun dana maupun hanya menyalurkan dana atau kedua-duanya menghimpun dan menyalurkan dana”.

Berdasarkan definisi di atas dapat dijelaskan bahwa bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan yang meliputi tiga kegiatan utama yaitu:
  1. Menghimpun dana, maksudnya adalah mengumpulkan atau mencari dana (uang) dengan cara membeli dari masyarakat luas dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan deposito. Pembelian dana dari masyarakat ini dilakukan oleh bank dengan cara memasang berbagai strategi agar masyarakat mau menanamkan dananya. Kegiatan penghimpunan dana ini sering disebut dengan istilah funding.
  2. Menyalurkan dana, maksudnya adalah melemparkan kembali dana yang diperoleh lewat simpanan giro, tabungan, dan deposito ke masyarakat dalam bentuk pinjaman (kredit) bagi bank yang berdasarkan prinsip konvensional atau pembiayaan bagi bank berdasarkan prinsip syariah. Kegiatan penyaluran ini dikenal dalam dunia perbankan dengan istilah lending. 
  3. Memberikan jasa bank lainnya ynag merupakan jasa pendukung atau pelengkap kegiatan perbankan seperti jasa pengiriman uang (Transfer), jasa setoran telepon, listrik, air, atau uang kuliah, jasa pembayaran seperti pembayaran gaji, pensiun serta jasa bank lainnya.

Pengertian Bank Syariah


Bank syariah ini pada hakikatnya sama saja dengan bank konvensional biasa, yang berbeda hanya dalam masalah bunga dan praktek lainnya menurut syariah Islam tidak dibenarkan. Selain itu, bank ini tidak mengenakan sistem bunga seperti bank konvensional namun tetap ada beban yang dikenakan kepada mereka yang menikmati jasanya tetapi konsep dan cara perhitungannya tidak seperti bank konvensional (Kasmir, 2003:10).

Menurut Muhammad (2002:13), bank Islam selanjutnya disebut dengan Bank Syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga.  Bank Islam atau biasa disebut bank tanpa bunga adalah lembaga keuangan yang operasional dan produknya dikembangkan berdasarkan pada Al-Quran dan Hadist Nabi SAW. Atau dengan kata lain, bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariah Islam.

Beberapa pendapat para ahli yang mengemukakan tentang pengertian Bank Syariah antara lain:
  1. Menurut Habib Nazir dan Hasanuddin (2004:74) mengemukakan bahwa: “Bank syariah adalah bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam”.
  2. Menurut  Totok dan Sigit Triandaru (2006:153) mengemukakan bahwa: “Bank syariah adalah bank yang dalam aktivitasnya baik bank penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip-prinsip syariah Islam”
  3. Schaik (2001:49) mengemukakan bahwa terdapat tujuh prinsip ekonomi Islam yang menjiwai bank syariah, yaitu: (1) keadilan, kesamaan dan solidaritas; (2) larangan terhadap objek dan makhluk; (3) pengakuan kekayaan intelektual; (4) harta sebaiknya digunakan dengan rasional dan baik (fair way); (5) tidak ada pendapatan tanpa usaha dan kewajiban; (6) kondisi umum dari kredit (meliputi; pertama, peminjam yang mengalami kesulitan keuangan sebaiknya diperlakukan secara baik, diberi tangguh waktu, bahkan akan lebih baik bila diberi keringanan, dan kedua, terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai hukum selisih antara kredit dan harga spot, ada yang berpendapat bahwa itu adalah suku bunga implisit dan ada juga yang berpendapat bahwa hal tersebut dibolehkan untuk mengakomodasi biaya transaksi, bukan biaya dari pembiayaan; dan (7) dua risiko, di satu sisi sebagai bagian dari persetujuan kredit (liability) usaha produktif yang merupakan legitimasi dari bagi hasil, di lain sisi risiko sebaiknya diambil secara hati-hati, risiko yang tak terkontrol sebaiknya dihindari.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bank syariah atau bank Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah atau hukum Islam yang bertujuan atau didasari oleh larangan agama Islam memungut maupun meminjam dengan bunga atau disebut riba serta laranagn untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram di mana hal ini dijamin oleh sistem perbankan konvensional.

Perbedaan Bank Konvensional dengan Bank Syariah


Berdasarkan hasil kajian Tim Bursa Efek Indonesia News (2004) menunjukkan bahwa ada 5 (lima) faktor yang memicu perkembangan perbankan syariah di Indonesia, sekaligus menjadi pembeda antara perbankan syariah dan perbankan konvensional, yaitu:
  1. Market yang dianggap luas ternyata belum digarap secara maksimal (apalagi bank syariah tidak hanya dikhususkan untuk orang muslim karena di sejumlah bank terdapat nasabah non-muslim).
  2. Sistem bagi hasil terbukti lebih menguntungkan dibandingkan dengan sistem bunga yang dianut bank konvensional (review pada waktu krisis ekonomi-moneter). 
  3. Return yang diberikan kepada nasabah pemilik dana bank syariah lebih besar daripada bunga deposito bank konvesional (ditambah lagi belakangan ini, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) terus mengalami penurunan, sehingga suku bunga bank juga menurun).
  4. Bank syariah tidak memberikan pinjaman dalam bentuk uang tunai, tetapi bekerja sama atas dasar kemitraan, seperti prinsip bagi hasil (Mudharabah), prinsip penyertaan modal (Musyarakah), prinsip jual beli (Murabahah), dan prinsip sewa (Ijarah).
  5. Prinsip laba bagi bank syariah bukan satu-satunya tujuan karena bank syariah mengupayakan memanfaatkan sumber dana yang ada untuk membangun kesejahteraan masyarakat (lagi pula, bank syariah bekerja di bawah pengawasan Dewan Pengawas Syariah). 
Menurut Boesono (2007) paling tidak ada tiga prinsip dalam operasional bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional, terutama dalam pelayanan terhadap nasabah, yang harus dijaga oleh para bankir, yaitu:
  1. Prinsip keadilan, yakni imbalan atas dasar bagi hasil dan margin keuntungan ditetapkan atas kesepakatan bersama antara bank dan nasabah.
  2. Prinsip kesetaraan, yakni nasabah penyimpan dana, pengguna dana, dan bank memiliki hak, kewajiban, beban terhadap risiko, dan keuntungan yang berimbang.
  3. Prinsip ketenteraman, bahwa produk bank syariah mengikuti prinsip dan kaidah muamalah Islam (bebas riba dan menerapkan zakat harta).

Kegiatan Operasional Bank Syariah


Menurut Karim (2006) Secara umum, kegiatan operasional bank syariah dapat dilihat dari jenis  produk yang ditawarkan oleh bank syariah. Produk yang ditawarkan bank syariah  adalah:

1. Penyaluran Dana (Financing) 

Produk penyaluran dana dapat dilakukan dengan prinsip sebagai berikut:

a. Pembiayaan dengan prinsip jual beli. Pembiayaan ini dilakukan sehubungan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Berdasarkan bentuk pembayaran dan waktu penyerahan, transaksi jual beli dapat dibedakan menjadi:

1) Pembiayaan Murabahah  (al-bai’ bi tsaman ajil). Akad ini  lebih dikenal dengan  murabahah  saja. Dalam skema  murabahah,  bank bertindak sebagai penjual sedangkan nasabah bertindak sebagai pembeli. Kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan waktu penyerahan. Hal yang sebaiknya diperhatikan adalah bahwa bank harus memberitahukan tingkat keuntungan yang diambil bank pada transaksi tersebut.

2) Pembiayaan Salam. Akad ini merupakan akad transaksi jual beli dengan barang yang bertindak sebagai objek belum ada. Namun, sebagai syarat transaksi ini adalah bahwa kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.

3) Pembiayaan  Istishna’. Akad ini hampir sama dengan akad Salam,  namun pada akad  Istishna’, pembayaran yang dilakukan oleh bank dapat dicicil. Pembiayaan ini biasanya dilakukan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.

b. Pembiayaan dengan prinsip sewa. Transaksi  Ijarah  didasari atas perpindahan manfaat. Perbedaan prinsip sewa dengan prinsip jual beli terletak pada objek transaksi. Pada prinsip sewa, objek transaksi adalah jasa, sedangkan pada  prinsip jual beli objeknya adalah barang/benda. Terdapat akad sewa yang diikuti dengan perpindahan kepemilikan objek pada akhir masa sewa. Akad ini disebut dengan ijarah muntahhiyah bittamlik (IMBT).

c. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil dapat dibedakan sebagai berikut:

1) Pembiayaan Musyarakah. Akad pembiayaan ini merupakan bentuk umum dari pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Akad Musyarakah merupakan perpaduan aset dua pihak atau lebih, guna membentuk usaha. Aset yang dipadukan dapat berwujud maupun tidak berwujud. Secara spesifik, bentuk kontribusi yang dipadukan oleh pihak–pihak yang terkait dapat berbentuk dana, barang perdagangan, kewiraswastaan, kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), asset tidak berwujud (intangible asset), atau bahkan reputasi (reputation).

2) Pembiayaan Mudharabah. Pembiayaan Mudharabah terbentuk dengan komposisi pemilik modal (Shahib Al-maal), dalam hal ini bank, dengan pengelola usaha (Mudharib). Dalam bentuk kerjasama ini, proporsi kontribusi modal 100% diberikan oleh Shahib Al-maal, yaitu bank. Hal ini membedakan pembiayaan  Mudharabah dengan pembiayaan  Musyarakah. Dalam pembiayaan Mudharabah, modal hanya berasal dari satu pihak sedangkan pada pembiayaan Musyarakah, dana modal dapat berasal dari dua pihak atau lebih. 


2. Penghimpunan Dana (Funding) 

Penghimpunan dana yang dilakukan oleh bank dapat berbentuk giro, tabungan, dan deposito, namun dengan melekatkan prinsip operasional syariah pada penghimpunan dana tersebut. Prinsip operasional syariah yang dapat diterapkan pada penghimpunan dana adalah prinsip wadi’ah dan prinsip Mudharabah.

a. Prinsip  Wadi’ah. Terdapat dua jenis simpanan dengan prinsip wadi’ah, yaitu wadi’ah yad dhamanah dan wadi’ah amanah. Jenis wadi’ah yad dhamanah merupakan akad yang sering diterapkan pada rekening giro. Dalam prinsip wadi’ah yad dhamanah, nasabah yang menitipkan dana pada bank tersebut tidak dijanjikan imbalan pendapatan, namun juga tidak menanggung kerugian. Keuntungan dan kerugian murni dipegang oleh bank. Bank dapat memberikan bonus pada nasabah, namun tidak boleh dijanjikan pada awal pembentukan akad.

b. Prinsip Mudharabah. Dalam prinsip himpunan dana Mudharabah, bank bertindak sebagai mudharib (pengelola) sedangkan nasabah bertindak sebagai sahib al-maal (pemilik modal). Prinsip Mudharabah diaplikasikan dalam produk tabungan berjangka dandeposito berjangka. Prinsip Mudharabah  dapat dibagi ke dalam dua bagian, ditinjau dari kewenangan pengelola:

1) Mudharabah Mutlaqah. Prinsip Mudharabah mutlaqah juga disebut dengan Unrestricted Investment Account  (URIA). Dalam prinsip URIA, tidak terdapat limitasi yang dibebankan pemilik dana kepada bank sebagai pihak pengelola dana. Hal ini berarti bahwa bank selaku pihak pengelola dana tersebut bebas menentukan penyaluran dana tersebut ke sektor manapun.

2) Mudharabah Muqayyadah. Prinsip Mudharabah muqayyadah  disebut juga dengan  Restricted Investment Account  (RIA). Dalam prinsip RIA, terdapat limitasi yang dibebankan oleh pemilik dana kepada bank selaku pengelola dana. Artinya, dalam penyaluran dana tersebut yang dilakukan oleh bank, terdapat syarat–syarat yang diajukan oleh pemilik dana.

3. Jasa (Services) 

Sehubungan dengan perbedaan pendapat yang terjadi antara Karim dan Muhammad pada akad pelengkap, maka perbedaan tersebut juga berimplikasi pada produk jasa perbankan syariah. Menurut Karim (2006:112) jasa perbankan meliputi  sharf  (forex trading)  dan  ijarah (sewa). Sewa dalam hal ini adalah jasa penyewaan kotak simpanan (safe deposit box)  dan jasa tata laksana administrasi dokumen (custodian).



Friday, March 13, 2015

Pengaruh Skeptisme Profesional dan Independensi Terhadap Pemberian Opini Auditor

Definisi Opini Auditor


Ardiyos (2014:661) dalam Kamus Besar Akuntansi menulis pengertian opini auditor sebagai “laporan yang dibuat oleh pemeriksa (auditor) setelah memeriksa penemuan-penemuan yang berkenaan dengan laporan keuangan suatu perusahaan”.

Pengaruh Skeptisme Profesional dan Independensi Terhadap Pemberian Opini Auditor
Opini audit diberikan oleh auditor melalui beberapa tahap audit sehingga auditor dapat memberikan kesimpulan atas opini yang harus diberikan atas laporan keuangan yang diauditnya. Pemberian opini oleh auditor atas laporan keuangan yang diperiksanya tergantung pada beberapa hal. Salah satu hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam proses audit yaitu tingkat materialitas informasi yang terdapat dalam laporan keuangan. Informasi dianggap material jika dengan tidak diungkapkannya informasi tersebut dapat mempengaruhi pengguna laporan keuangan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Untuk menentukan materialitas suatu pos maka besaran dan sifat unsur tersebut harus dianalisis dimana masing-masing dapat menjadi faktor penentu.  

Mulyadi (2002:19) dalam buku Auditing mengatakan bahwa:
Auditor menyatakan pendapatnya mengenai kewajaran laporan keuangan entitas yang diperiksanya dalam semua hal yang material, yang didasarkan atas kesesuaian penyusunan laporan keuangan tersebut dengan prinsip akuntansi berterima umum. 

Jika auditor tidak dapat mengumpulkan bukti kompeten yang cukup atau jika hasil pengujian auditor menunjukkan bahwa laporan keuangan yang diauditnya disajikan tidak wajar, maka auditor perlu menerbitkan laporan audit selain laporan yang berisi pendapat wajar tanpa pengecualian.

Dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (2007:45) dikatakan bahwa untuk pemeriksaan keuangan, Standar Pemeriksaan memberlakukan empat standar pelaporan SPAP yang ditetapkan IAI berikut:
  1. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuanga disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau prinsip akuntansi yang lain yang berlaku secara komprehensif.
  2. Laporan auditor harus menunjukkan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. 
  3. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit.
  4. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul auditor.

Jenis-jenis Opini Aditor


Institut Akuntan Publik Indonesia dalam Standar Profesional Akuntan Publik SA Seksi 508 PSA No. 29 (2011:508.6) mengatakan bahwa ada berbagai tipe pendapat yang diberikan oleh auditor atas laporan keuangan yang diperiksanya. Tipe yang pertama yaitu pendapat wajar tanpa pengecualian. Pendapat wajar tanpa pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Tipe yang kedua yaitu bahasa penjelasan ditambahkan dalam laporan auditor bentuk baku. Keadaan tertentu mungkin mengharuskan auditor menambahkan suatu paragraf penjelasan (atau bahasa penjelasan yang lain) dalam laporan auditnya.

Tipe selanjutnya yaitu pendapat wajar dengan pengecualian yang menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan. Kemudian pendapat tidak wajar yang menyatakan bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Tipe yang terakhir yaitu pernyataan tidak memberikan pendapat. Pernyataan tidak memberikan pendapat menyatakah bahwa auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan.

Secara umum ada lima jenis opini auditor dalam laporan auditing antara lain:  

1. Pendapat wajar tanpa pengecualian

Bentuk laporan auditing yang paling umum adalah laporan auditing dengan pendapat wajar tanpa pengecualian. Halim dalam Auditing 2 : Dasar-dasar Prosedur Pengauditan Laporan Keuangan (2004: 267) mengatakan bahwa:
Pendapat wajar tanpa pengecualian dapat diberikan auditor apabila audit telah dilaksanakan atau diselesaikan sesuai dengan standar pengauditan, penyajian laporan keuangan dengan prinsip akuntansi yang berterima umum, dan tidak terdapat kondisi atau keadaan tertentu yang memerlukan bahasa penjelas.
Pendapat wajar tanpa pengecualian ini dikeluarkan apabila auditor menganggap bahwa laporan keuangan telah disajikan  secara wajar. Laporan keuangan harus menyajikan secara wajar posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas suatu perusahaan. Menurut Greuning (2005:21):
Penyajian wajar mensyaratkan penyajian yang jujur atas akibat transaksi, peristiwa lain, dan kondisi sesuai dengan definisi dan kriteria pengakuan atas aktiva, kewajiban, penghasilan, dan beban yang ditetapkan dalam kerangka dasar

2. Pendapat wajar tanpa pengecualain dengan kalimat penjelas

Dalam situasi tertentu, laporan audit wajar tanpa pengecualian diterbitkan, kata-kata yang digunakan menyimpang dari laporan wajar tanpa pengecualian bentuk standar. Laporan ini harus dibedakan dari laporan wajar dengan pengecualian, laporan tidak wajar, dan laporan tidak memberikan pendapat.

Mulyadi dalam buku Auditing (2002:418-419) mengatakan bahwa:

Ada dua jenis kalimat penjelasan yang terdapat dalam pendapat wajar tanpa pengecualian dengan kalimat penjelas yaitu: 
a. Paragraf penjelasan karena ketidak konsistenan penerapan prinsip akuntansi.
b. Paragraf penjelasan karena keraguan tentang kelangsungan hidup entitas.

Berbagai penyebab paling penting dari penambahan paragraf penjelas atau modifikasi kata di laporan wajar tanpa pengecualian yaitu antara lain: tidak ada konsistensi, ketidakpastian yang material, keraguan atas kelangsungan hidup perusahaan, setuju dengan penyimpangan standar akuntansi yang berlaku, penekanan atas suatu hal, dan laporan yang melibatkan auditor lain. 

3. Pendapat wajar dengan pengecualian

Pendapat wajar dengan pengecualian dapat diberikan baik karena adanya pembatasan ruang lingkup audit atau tidak ditaatinya standar akuntansi yang berlaku umum.

Mayangsary (2013:28) mengatakan bahwa:
Pendapat wajar dengan pengecualian hanya dapat digunakan jika auditor yakin bahwa laporan keuangan secara keseluruhan telah disajikan secara wajar. Jika auditor merasa bahwa kondisi yang dilaporkannya cukup parah, maka pernyataan tidak memberikan pendapat, atau pendapat tidak wajar harus dibuat. 

Oleh karena itu, pendapat wajar dengan pengecualian dianggap sebagai bentuk pengungkapan yang paling lunak diantara semua penyimpangan dari laporan wajar tanpa pengecualian.

4. Pendapat tidak wajar

Pendapat tidak wajar hanya diberikan jika auditor merasa yakin bahwa keseluruhan laporan keuangan yang disajikan memuat salah saji yang material atau menyesatkan sehingga tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan atau hasil operasi perusahaan sesuai denggan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Mulyadi dalam Auditing (1998:20) mengatakan bahwa:
Auditor memberikan pendapat tidak wajar jika ia tidak dibatasi lingkup auditnya, sehingga ia dapat mengumpulkan bukti kompeten yang cukup untuk mendukung pendapatnya. Jika laporan keuangan diberi pendapat tidak wajar oleh auditor, maka informasi yang disajikan oleh klien dalam laporan keuangan sama sekali tidak dapat dipercaya, sehingga tidak dapat dipakai oleh pemakai laporan keuangan untuk pengambilan keputusan.

5. Pernyataan tidak memberikan pendapat

Suatu pernyataan tidak memberikan pendapat dilakukan jika auditor tidak berhasil untuk menyakinkan dirinya sendiri bahwa keseluruhan laporan keuangan yang disajikan secara wajar. Menurut Halim (2004:269), “pernyataan auditor untuk tidak memberikan pendapat layak diberikan apabila ada pembatasan lingkup audit yang sangat material baik oleh klien maupun karena kondisi tertentu dan auditor tidak independen terhadap klien”.

Pernyataan ini dapat diberikan apabila auditor yakin bahwa terdapat penyimpangan yang material dari prinsip akuntansi berterima umum. Auditor tidak diperkenankan mencantumkan paragraf lingkup audit apabila auditor menyatakan untuk tidak memberikan pendapat. Auditor harus menyatakan alasan mengapa auditnya tidak berdasarkan standar pengauditan yang ditetapkan IAI dalam satu paragraf khusus sebelum paragraf pendapat.

Menurut Mulyadi (2002:424) jika lingkup audit yang dilaksanakan oleh auditor tidak memadai untuk auditor memberikan pendapat, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh auditor:

  1. Dalam paragraf pengantar, auditor melakukan perubahan frasa” Kami telah mengaudit neraca perusahaan KXT..... “ menjadi “ Kami telah membuat perikatan untuk mengaidit neraca perusahaan KXT.....” Hal ini dilakukan untuk menjelaskan bahwa auditor tidak melaksanakan audit sebagaimana yang disyaratkan dalam standar pekerjaan lapangan.
  1. Paragraf lingkup audit tidak dicantungkan dalam laporan audit karena pembatasan terhadap lingkup audit telah mengakibatkan auditor tidak dapat menyatakan bahwa audit yang dilaksanakan oleh auditor sesuai dengan standar auditing yang ditetapkan oleh Ikatan Akutan Indonesia.
  1. Menjelaskan dalam satu paragraf tentang alasan yang menyebabkan auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan klien. 

Skeptisme Profesional Auditor


Institut Akuntan Publik Indonesia dalam Standar Profesional Akuntan Publik SA Seksi 230 PSA No. 04 (2011:230.1) mendefinisikan skeptisme profesional sebagai “sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis bukti audit”. Auditor menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh profesi akuntan publik untuk melaksanakan dengan cermat dan seksama, dengan maksud baik dan integritas, pengumpulan dan penilaian bukti audit secara objektif.

Dalam kamus besar bahasa indonesia (2008:1324) skeptisme diartikan sebagai “aliran atau paham yang memandang sesuatu selalu tidak pasti, meragukan, dan mencurigakan”. Sikap skeptisme profesional auditor sangat dibutuhkan untuk penilaian yang kritis  terhadap bukti-bukti audit, yaitu auditor harus memiliki pikiran yang selalu mempertanyakan kehandalan dokumen-dokumen yang diperoleh dari pihak manajemen dan juga mempertimbangkan kecukupan dan kesesuaian bukti yang diperoleh.

Pengumpulan dan penilaian bukti audit secara objektif menuntut auditor mempertimbangkan kompetensi dan kecukupan bukti tersebut. Oleh karena bukti dikumpulkan dan dinilai selama proses audit maka skeptisme profesional harus digunakan selama proses tersebut. Auditor tidak boleh menganggap bahwa manajemen adalah tidak jujur, namun juga tidak boleh menganggap bahwa kejujuran manajemen tidak dipertanyakan lagi. Auditor juga tidak boleh merasa puas dengan bukti-bukti yang kurang persuasif karena keyakinannya atas kejujuran manajemen.

Sikap skeptisme profesional juga erat hubungannya dengan sikap kehati-hatian profesional. Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan. Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada publik (Mulyadi, 2002:58). Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk merencanakan dan mengawasi secara saksama setiap kegiatan profesinal yang menjadi tanggng jawabnya. 


Independensi     

Agoes dan Ardana (2009:186) mendefinisikan independen sebagai “sikap tidak memihak serta tidak dibawah pengaruh atau tekanan pihak tertentu dalam mengambil keputusan atau tindakan”. Sedangkan menurut Arens dan Loebbecke (1997:80), independensi adalah “cara pandang yang tidak memihak didalam pengujian audit, hasil evaluasi audit, dan pembuatan laporan keuangan”.

Pernyataan standar umum kedua yang diatur dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (2007:24) berbunyi:
Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya.
Dengan pernyataan standar umum kedua ini, organisasi pemeriksa dan para pemeriksanya bertanggung jawab untuk dapat mempertahankan independensinya sedemikian rupa, sehingga pendapat, simpulan, pertimbangan atau rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tidak memihak dan dipandang tidak memihak oleh pihak manapun. Pemeriksa perlu mempertimbangkan tiga macam gangguan terhadap independensi, yaitu gangguan pribadi, ekstern, dan atau organisasi. Apabila satu atau lebih dari gangguan independensi tersebut mempengaruhi kemampuan pemeriksa secara individu dalam melaksanakan tugas pemeriksaannya, maka pemeriksa tersebut harus menolak penugasan pemeriksaan. Dalam keadaan pemeriksa yang karena suatu hal tidak dapat  menolak penugasan pemeriksaan, gangguan dimaksud harus dimuat dalam bagian lingkup pada laporan hasil pemeriksaan.

Independensi juga diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik, SA Seksi 220 PSA No. 04 standar umum kedua berbunyi “dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor”. Standar ini mengharuskan auditor bersikap independen, artinya tidak mudah dipengaruhi, karena auditor melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (dibedakan dalam hal auditor berpraktek sebagai auditor intern). Dengan demikian, auditor tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapa pun, sebab bagaimana pun sempurnanya keahlian teknis yang auditor miliki, ia akan kehilangan sikap tidak memihak, yang justru sangat penting untuk mempertahankan kebebasan pendapatnya.

Auditor dalam melaksanakan pemeriksaan memperoleh kepercayaan dari klien dan para pemakai laporan keuangan untuk membuktikan kewajaran laporan keuangan yang disusun dan disajikan oleh klien. Oleh karena itu, dalam memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diperiksa, seorang auditor harus bersikap independen terhadap kepentingan klien, para pemakai laporan keuangan, maupun terhadap kepentingan organisasi tertentu.

Seorang auditor harus indipenden dari setiap kewajiban atau independen dari kepemilikan kepentingan dalam entitas yang diauditnya. Disamping itu, auditor tidak hanya berkewajiban mempertahankan sikap independen, tetapi ia harus pula menghindari keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan masyarakat meragukan independensinya. Dengan demikian disamping auditor harus benar-benar independen, ia juga harus menimbulkan persepsi dikalangan masyarakat bahwa ia benar-benar independen. Menurut Mulyadi (1998:26), dalam kenyataanya auditor seringkali menemui kesulitan dalam mempertahankan sikap mental independen. Keadaan yang seringkali mengganggu sikap mental independen auditor adalah sebagai berikut:

  1. Sebagai seseorang yang melakukan audit secara independen, auditor dibayar oleh kliennya atas jasanya tersebut.
  2. Sebagai penjual jasa seringkali auditor mempunyai kecenderungan untuk memuaskan keinginan kliennya.
  3. Mempertahankan sikap mental independen seringkali dapat menyebabkan lepasnya klien.


Sumber :

Ardiyos. 2014. Kamus Besar Akuntansi. Jakarta: Citra Harta Prima.

Arens, Alvin A dan Loebbecke, James K. 1997. Auditing. Jakarta : Salemba Empat.

Greuning, Hennie V. 2005. Standar Pelaporan Keuangan Internasional: Pedoman Praktis. Jakarta: Salemba Empat.

Halim, Abdul dan Totok, B.S. 2004. Auditing 2 : Dasar-dasar Prosedur Pengauditan Laporan Keuangan Edisi Ketiga. Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN.

Mayangsari, Sekar dan Puspa Wandanarum. 2013. Auditing. Jakarta: Media Bangsa.

Mulyadi. 2002. Auditing, Buku Dua Edisi ke Enam. Jakarta: Salemba Empat.

Thursday, March 12, 2015

Teori Atribusi Dalam Audit

Teori Atribusi


Teori Atribusi Dalam Audit
Konsep yang mendasari teori tentang ketepatan pemberian opini auditor merujuk kepada teori akuntansi keperilakuan khususnya teori atribusi. Teori atribusi mempelajari proses bagaimana seseorang menginterpretasikan suatu peristiwa, mempelajari bagaimana seseorang menginterpretasikan alasan atau sebab perilakunya. Teori atribusi merupakan teori yang dikembangkan oleh Fritz Heider yang berargumentasi bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal (internal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti kemampuan atau usaha, dan kekuatan eksternal (eksternal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar seperti kesulitan dalam pekerjaan atau keberuntungan (Suartana, 2010:181).

Dalam penelitian keperilakuan, teori atribusi diterapkan dengan menggunakan variabel locus of control (tempat pengendalian kita ada dimana). Vaiabel tersebut terdiri dari dua komponen yaitu internal locus of control dan external locus of control. Internal locus of control adalah perasaan yang dialami  seseorang bahwa dia mampu secara personal mempengaruhi kinerjanya serta perilakunya melalui kemampuan, keahlian, dan usaha yang dia miliki. Di pihak lain external locus of control adalah perasaan yang dialami seseorang bahwa perilakunya sangat ditentukan oleh faktor-faktor di luar pengendaliannya.

Teori atribusi digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui perilaku auditor dalam memberikan opini auditor. Dalam teori atribusi dikatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal (internal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti kemampuan atau usaha, dan kekuatan eksternal (eksternal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar seperti kesulitan dalam pekerjaan (Suartana, 2010:181). Teori atribusi dapat digunakan untuk mendukung penelitian ini karena dalam penelitian ini akan diuji mengenai variabel-variabel yang dapat mempengaruhi ketepatan pemberian opini auditor yaitu skeptisme profesional yang merupakan kekuatan internal seorang auditor dan independensi sebagai faktor yang dapat dipengaruhi oleh pihak luar. 


Definisi Audit


       Definisi auditing menurut Report of the Committee on Basic Auditing Concepts of the American Accounting Association  yang dikutip oleh Boynton dan Johnson (2003:5) adalah:

Suatu proses sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi-asersi kegiatan dan peristiwa ekonomi, denan tujuan menetapkan derajat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

       Mayangsari (2013:7) dalam buku Auditing mendefinisikan auditing sebagai berikut:

Auditing adalah suatu proses yang sistematis untuk memperoleh dan menilai bukti-bukti secara objektif, yang berkaitan dengan asersi-asersi tentang tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 

       Sedangkan menurut Mulyadi dan Puradiredja (1998:7), auditing merupakan:

Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.

       Dari beberapa pengertian auditing tersebut, terdapat beberapa konsep dasar sebagai berikut:


  1. Auditing merupakan suatu proses sistematis, yaitu berupa suatu langkah atau prosedur yang logis, terencana, dan terorganisasi.
  2. Auditing dilakukan dengan cara memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif. 
  3. Auditing memeriksa pernyataan-pernyataan atau asersi-asersi tentang kegiatan dan kejadian ekonomi. 
  4. Auditing dimaksudkan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi dengan kriteria yang telah ditetapkan.
  5. Hasil auditing harus dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Jenis-jenis Audit


Auditing umumnya digolongkan menjadi tiga golongan antara lain audit laporan keuangan, audit kepatuhan, dan audit operasional (Mulyadi dan Puradiredja, 1998:28).

1. Audit Laporan Keuangan

Audit laporan keuangan adalah audit yang dilakukan oleh auditor independen terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh kliennya untuk menyatakan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Dalam audit laporan keuangan ini, auditor independen menilai kewajaran laporan keuangan atas dasar kesesuaiannya dengan prinsip akuntansi berterima umum.

2. Audit Kepatuhan

Audit kepatuhan adalah audit yang tujuannya untuk menentukan apakah yang diaudit sesuai dengan kondisi atau peraturan tertentu. Hasil audit kepatuhan umumnya dilaporkan kepada pihak yang berwenang membuat kriteria. Audit kepatuhan banyak dijumpai dalam pemerintahan.

3. Audit Operasional
Audit operasional merupakan review secara sistematis kegiatan organisasi, atau bagian daripadanya, dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Tujuan audit operasional adalah untuk:
a. Mengevaluasi kinerja.
b. Mengidentifikasi kesempatan untuk peningkatan.
c. Membuat rekomendasi untuk perbaikan atau tindakan lebih lanjut.


Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (2007:13) menjelaskan tiga jenis pemeriksaan antara lain:

1. Pemeriksaan Keuangan
Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan. Pemeriksaan keuangan tersebut bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau basis akuntansi komprehensif selain prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

2. Pemeriksaan Kinerja
Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Dalam melakukan pemeriksaan kinerja, pemeriksa juga menguji kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan serta pengendalian intern.

3. Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu bertujuan untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu dapat bersifat: eksaminasi, revieu, atau prosedur yang disepakati.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya terdapat tiga jenis audit yaitu audit keuangan (pemeriksaan keuangan), audit kepatuhan (pemeriksaan kinerja), dan audit operasional dimana masing-masing jenis audit tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda. Audit laporan keuangan dilakukan untuk menentukan apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip akuntasi yang berterima umum. Audit kepatuhan dilakukan dengan tujuan untuk menentukan apakah pihak yang diaudit telah melaksanakan serangkaian prosedur dan aturan yang telah ditetapkan oleh pihak otoritas tertinggi. Sedangkan audit operasional dilakukan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi kegiatan operasi dalam suatu entitas. 




Sumber :

Boynton, William C, Raymond N. Johnson, Walter G. Kell. Tanpa tahun. Modern Auditing, Jilid 1. Terjemahan oleh Ichsan Setiyo Budi. 2003. Edisi Ketujuh. Jakarta: Erlangga.
Mayangsari, Sekar dan Puspa Wandanarum. 2013. Auditing. Jakarta: Media Bangsa.
Mulyadi dan Puradiredja, Kanaka. 1998. Auditing, Buku Satu Edisi kelima. Jakarta: Salemba Empat.
Suartana, Wayan. 2010. Akuntansi Keperilakuan: Teori dan Implementasi. Yogyakarta: Andi.

Tuesday, March 3, 2015

Pengertian Konsep Investasi

Pengertian Konsep Investasi
Para investor menempatkan dana atau modalnya di pasar modal dalam bentuk surat berharga (saham dan obligasi) pada umumnya didorong oleh motif mendapatkan imbal hasil maksimal. Keuntungan yang diperoleh baik berupa dividen maupun capital gain dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan, baik sekarang maupun masa akan datang. Ini sejalan dengan tujuan perusahaan yakni memaksimalkan kesejahteraan pemilik atau pemegang saham atau biasa disebut memaksimalkan keuntungan.

Berdasarkan tujuan investasi ini, maka investasi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan menempatkan dana pada satu atau lebih asset (assets) selama periode tertentu dengan harapan dapat memperoleh penghasilan dan/atau peningkatan nilai investasi (Harianto, 1998). Francis dalam Jahja (2003) mengemukakan pengertian investasi yaitu an investment is a commitment of money that is expected to generate additional money. Kegiatan investasi menyangkut komitmen penempatan sejumlah uang pada suatu jenis investasi untuk mendapatkan tambahan sejumlah uang.

Penempatan dana tersebut dapat dilakukan dengan membeli real assets dan financial assets. Investasi dalam bentuk real assets dapat dilakukan misalnya dengan membeli aktiva tetap berwujud (tanah, mesin, emas, gedung atau rumah dan kendaraan), sedangkan investasi dalam bentuk financial assets dapat dilakukan dengan membeli surat-surat berharga (sekuritas) misalnya saham, obligasi dan Iain-lain. Menempatkan dana di pasar modal misalnya memiliki saham adalah bentuk investasi financial assets. Investasi ini akan memberikan penghasilan dalam bentuk dividen serta nilainya dapat diharapkan meningkat di masa datang melalui kenaikan harga saham. Kenaikan harga saham akan memberikan return tinggi yang bersumber dari selisih antar harga sebelum dan setelah harga saham naik sehingga mendapatkan capital gain.

Meskipun keputusan investasi saat ini bertujuan mengharapkan penambahan uang, namun investasi juga berhubungan dengan masa akan datang yang tidak pasti. Artinya investasi mengandung unsur risiko. Oleh karena itu selain return yang diharapkan, investor yang rasional juga perlu mempertimbangkan faktor risiko yang mungkin muncul. Keduanya mempunyai hubungan positif, yakni semakin tinggi tingkat return yang diharapkan, semakin tinggi pula tingkat risiko yang dihadapi investor.

Investasi dalam saham adalah investasi yang berisiko karena harga saham bisa naik dan bisa turun (fluktuatif). Akibatnya, investor bisa memperoleh keuntungan yang besar (capital gain) tetapi dapat pula menderita kerugian (capital loss) yang tidak kecil jumlahnya. Pada umumnya investor mengharapkan tingkat return maksimum dengan bersedia menanggung tingkat risiko tertentu. Atau investor bersedia mengambil investasi berisiko tinggi apabila investasi tersebut menjanjikan return yang tinggi pula. Pada kondisi seperti ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat trade off atau tukar impas antara return yang diharapkan dengan risiko (Harianto dkk, 1998).