Friday, May 29, 2015

Organisasi Sistem Nyeri

Terminal afferen


Organisasi Sistem Nyeri
Nosiseptor tidak hanya mentransmisi pesan nyeri, yang berpusat pada spinal cord, tapi juga melepas berbagai macam molekul dari terminal perifer. Molekul-molekul ini yaitu seperti neuropeptide SP dan CGRP, mempengaruhi jaringan lokal dengan beraksi pada pembuluh darah dan sel sel lain sehingga menyebabkan vasodilatasi dan ekstravasasi plasma, kunci dari inflamasi neurogenik. Inflamasi neurogenik mengubah lingkungan ekstraseluler dari terminal nosiseptor perifer, yang bisa mengsensitasi nosiseptor pada stimulasi berikutnya.

Kompleksisitas biokimiawi dari subtipe nosiseptor paralel dari pola innervasi perifer yang berbeda. Sebagai contoh, beberapa marker menggambarkan jumlah  nosiseptor yang innervasi perifernya dibatasi pada jaringan tertentu. Demikian, nosiseptor yang mengekspresi subtipe Mrgprd dari reseptor D-protein coupled menginnervasi kulit, bukan organ viscera.

Proyeksi sentral nosiseptor


Cabang utama afferen primer beralhir di dorsal horn dari spinal cord, yang  dibagi menjadi 5 parallel laminae, berdasarkan sitoarsitektur nya. Neuron-neuron di lamina III dan IV diinnervasi oleh serat bermyelin yang berespon terhadap sentuhan innocuous (tidak menimbulkan jejas). Sedangkan neuron-neuro di lamina I, II, V menerima input dari afferen nosisepsi dan merupakan sambungan yang penting dalam transmisi informasi nyeri, secara lokal dan via proyeksi neuron pada laimna 1 dan V,  yang menargetkan otak.

Input stratifikasi yang luar biasa pada spinal cord telah didemonstrasikan lanjut oleh pola proyeksi yang berbeda dari  nosiseptor AG dan serat C. Neuron-neuro pada Lamina I spinal cord  diinnervasi oleh AG dan serat C. Konsisten dengan input ini, neuron-neuron mayor di lamina I diaktivasi secara selektif oleh stimulus noxious, dan dengan demikian disebut sebagai neuron-neuron spesifik nosiseptif. Lamina I juga mengandung yang biasa disebut neuron wide dynamic range (WDR), yang menerima input konvergen dari serat nosisepsi dan non nosisepsi. Lamina I juga mengandung neuron-neuron yang muncul untuk mengkode sensasi innocous selektif., gatal dan sentuhan sensual. 

Meskipun kebanyakan Lamina I adalah interneuron yang melekat di sirkuit lokal dorsal horn, jumlahnya sedikit namun memiliki jumlah yang kritis (-10%)  adalah neuron-neuron proyeksi yang mengakses pusat proses nyeri secara langsung di otak.

Lamina II  utamanya mengandung interneuron nosiresponsif dan  bisa dibagi menjadi regio luar  (II0) dan dalam (IIi), yang menerima input dari afferenn peptidergik dan non-peptidergik, Lamina II yang paling ventral ditandai oleh adanya sebuah kelompok interneuron eksitasi yang mengekspresikan isoform gamma dari protein kinase C (PKCy). Sebaliknya nosiseptor utama memberi input ke bagian dorsal dari lamina II, neuron-neuron  PKCY menjadi target dari afferen non-nosisepsi bermyelin dan dari mekanoreseptor C dengan ambang batas yang rendah, dan berpartisipasi dalam proses jejas saraf yang diinduksi nyeri persisten.

Meskipun beberapa neuron-neuron pada lamina V merupakan spesifik nosisepsi, kebanyakan neuron-neuron WDR yang menerima konvergen innocous dan input monosinaptik noxious dari serat AB dan AG, dan input polisinaptik indirek dari serat C. seperti di lamina I, porsio dari neuron dari lamina V adalah neuron projeksi yang membawa informasi kepada otak

Jalur nyeri ascendens


Proyeksi neuron-neuron  di lamina I dan V yang berasal dari jalur ascendens yang multipel.diantaranya yaitu traktus spinotalamikus dan spinoretikuler, dimana memproyeksi ke berbagai regio otak yang berhubunbgan dengan proses nyeri, termasuk thalamus, periaquaductul grey (PAG), regio parabrachial, formasio retikular pada medulla, hypothalamus, dan amygdala. Dari area ini informasi nosisepsi ditransfer ke regio otak yang terlibat dalam aspek sensory-discriminatory (korteks somatosensory) dan aspek affective-motivational (insula dan anterior cingulata cortex) dari sensasi nyeri, seperti area yang terlibat dalam modulasi descenden pada neuron spinal cord yang mentransmisi pesan nyeri ke otak. (rostral ventromedial medulla; RVM)

Sensitasi dan nyeri persisten


Pada jejas, dua mskanisme yang sering mendasari proses sensitisasi yang mengarah ke allodynia dan hiperalgesia. Yang pertama melibatkan sensitisasi perifer, dari nosiseptor itu sendiri, yang kedua sensitisasi sentral, hasil dari sensitisasi dari neuron-neuron downstream CNS dalam jalur nyeri.

Sensitasi perifer


Sebagai tambahan, secara lqngsung mengamtivasi nosiseptor, jejas jaringan memicu pelepasan mediator - mediator pro-inflamasi dari neuron-neuron afferen primer dan dari sel non neuron. Diantaranya yaitu, neurotransmitter (serotonin, glutamate), peptide (SP, CGRP, bradikinin), ATP, proton, lipid,(prostaglandin, tromboxan, leukotrien, endocannabinoid), chemokine dan sitokin ( interleukin-1B, interleukin-6 dan tumor necrosis factor A, (TNF A) dan neutrophine ( nerve growth factor (NGF), artemin neurterin, GDNE, dlial derived neurotrophic actor (GDNF),yang beraksi pada reseptor yang diekspresi oleh terminal perifer dari nosiseptor untuk meningkatkan respons terhadap stimulasi berikut. Peningkatan ini biasa terjadi melalui aktivasi sinyal kaskade second messenger yang secaa langsung mengsensitasi kanal sensoris. Sebagai contoh, inflamai menyebabkan pelepasan dari bradikinin dan prostaglandin E2, yang mengurangi ambang batas untuk aktivasi panas dari TRPV1 melalui sevond messenger seperti protein kinase C.

Sensitisasi sentral


Sebagai hasil dari peningkatan aktivasi perifer berhubungan dengan jejas jaringan atau jejas saraf, neuron- neuron di dorsal horn dari spinal cord dan otak mengalami perubahan jangka panjang ,sebuah proses yang  dikenal dengan sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral berbagi banyak properti dengan bentuk lain pada plastisitas jangkapanjang yang diobservasi di sistem saraf pusat. Di spinal cord, bentuk plastisitas ini dapat dilihatdari perubahan yang signifikan dalam properti firing neuron-neuron: berkurangnya ambang batas aktivasi, meningkatnya aktivitas spontan.

Berbagai macam mekanisme telah diajukam untuk mendasari perkembangan sensitisasi sentral. Yang paling dipelajari yaitu aktivasi subtipe NMDA, dari reseptor glutamate, sebuah proses yang secara fungsional mirip dengan plastisitas neuronal yang berimplikasi pada pembentukan memori. Stimulasi akut dari nosiseptor  memicu pelepasan glutamate dari terminal afferen primer. Glutamate mengaktjvasi calciumimpereable AMPA dan reseptor kainate, namun gagal untuk mengaktivasi reseptor NMDA. Akan tetapi pelepasan glutamate, seperti pada jaringan persisten atau jejas saraf, neufon-neuron spinal cord postsinaps  cukup didepolarisasi untuk mengikat reseptor NMDA calcium-permeabel. Kalsium masuk melalui kanal kanal ini menuju perubahan molekuler jangka panjang di dalam neuron spinal cord., Dengan demikian memperkuat hubungan sinaptik antara neuron dan nosiseptor, dan memningkatkan efek sentral pada input nosisepsi (bahkan non-noxious).

Kehilangan kontrol inhibisi juga merupakan kontributor mayor dalam sensitasi sentral. Penginhibisi Interneuron  tersebar banyak di semua dorsal horn spinal cord, dan neuron-neuron ini meregulasi transmisi informasi noxious dengan meredam input eksitasi dan mencegah overaktivasi dari sirkuit nosisepsi. Pada jejas , akan tetapi, ada penurunan input inhibitor ke neuron spinal cord superfisial, yang meningkatkan output spinal cord yaitu stimulus respon nyeri, dan sebagai tambahan bisa menyingkap input dari afferen primer non-nosisepsi. Ada bukti yang mengatakan bahwa disinhibisi bisa disebabkan oleh perubahan efek normal transmitter inhibitor. Sebagai contoh gamma-aminobutirik acid (GABA), dan glisin, sekarang mengeksitasi, dibanding menginhibisi, neuron post sinaps, atau karena perubahan reseptor inhibisi pada neuron spinal cord, membuat respon transmitter kurang responsif  sebagai transmitter inhibitor.

Kehilangan interneuron inhibitor secara sekunder telah dilaporkan karena adanya jejas masif. Meskipun besarnya kehilangan masih didebatkan.

Sensitasi primer juga melibatkan interaksi antara mikroglia, astrosit dan neuron spinal cord. Dalam menghadapi pelepasan faktor solubel dari terminal –terminal dari serat afferen primer pada jejas, mikroglia diaktifkan dan berakumulasi dalam dorsal horn superfisial. Mikroglia melepas molekul sinyal patofisiologik, termasuk interleukin-1B, interleukin-6 TNFa, fractalkine dan brain derived neurotropic factor  (BDNF), yang meningkatkan sensitasi sentral dan karena itu berkontribusi pada nyeri persisten. Astrosit juga diinduksi di spinal cord ketika jejas terjadi. Meskipun kontribusi sensitasi sentral masih kurang jelas, astrosit berperan penting pada maintenance dibanding induksi nyeri persisten.

Akhirnya, sensitasi jalur nyeri juga dihasilkan dari perubahan di batang otak. Sebagai tambahan dari peran yang telah kita ketahui bersama pada inhibis descendens dari proses nyeri, neuron neuron pada midbrain PAG dan RVM bisa membantudalam memproses  sinyal nyeri pada level spinal cord. Dalam kondisi nyeri persisten, efek fasilitator ini ditingkatkan. Sebenarnya,nyeri persisten membutuhkan input fasilitator yang terus menerus dari neuron batang otak ke spinal cord. Sebagai contoh,  dalam nyeri yang diinduksi jejas pada saraf (neuropatik), mekanisme allodynia bisa diblok oleh injeksi lidokainke dalam RVM. Sensitasi pada sirkuit fasilitator supraspinal terjadi melalui mekanisme serupa yang melibatkan sensitasi neuron spinal cord.  Demikian aktivasi  reseptor NMDA telah berimplikasi dalam sensitisasi neuron neuron RVM dan baru-baru ini, BDNF dan mikroglia berkontribusi dalam proses yang telah dilaporkan.

Target Analgesik


Peningkatan pengetahuan kita terhadap mekanisme yang memproduksi nyeri, secara umum proses sensitisasi, telah diidentifikasi sejumlah target untuk penanganan nyeri. Sebagai tambahan, kita telah mengerti mekanisme kerja dari analgesik tradisional seperti opioid dan NSAID. Seperti farmakoterapi lainnnya, tujuannya yaitu untuk menangani nyeri sambil membatasi dampak yang merusak dari ikatan obat pada tempat yang tidak berhubungan dengan proses nyeri.

Untuk alasn ini, target memperbanyak ekspresi element dari jalur nyeri, sebagai contoh,  kanal sodium spesifik sensori-neuron. Meskipun telah terbukti sangat sulit untuk membuat obat yang selektif pada kanal ini, ternyata ada signifikansi bahwa antidepresan trisiklik, yang efektif dalam nyeri neuropatik (neuropatik diabetik dan neuralgia postherpetik) tidak hanya monoamine uptake inhibitor tapi juga sempurna dalam blokade kanal sodium dependent. Itu  memungkinkan karena kegunaanya dalam generasi blokade aksipotensial dan transmisi nosiseptor. Kepentingan mentarget nosiseptor selanjutnya didemonstrasikan oleh capsaicin topikal dosis tinggi untuk nyeri neuropatik, sebuah pendekatan yang mungkin memproduksi  degenerasi tiba-tiba dari terminal nosiseptor.  Sebanyak element dari lingkungan inflamasi menggunakan efek melalui TRPV1(model preklinik dari kanker tulan metastatis), perkembangan antagonis TRPV1 sebagai penanganan nyeri juga sedang diusahakan. Akhrinya ada bukti yang sangat menggembirakan yang menarget pada mediator pro inflamasi seperti NGF dan TNFa dengan menetralisis antibodi yang efektif pada penanganan nyeri inflamasi kronik seperti arthritis.

Kelas analgetik lain tidak secara spesifik menarget nosiseptor, tetapi beraksi pada level berbda di jalur transmisi nyeri. Agen-agen ini yaitu, opioid. (contoh morphin) tetapi juga beberapa calcium channel blocker, ziconotide, sebuah toxin derivat dari siput kerucut yang menarget pada N-type calcium channel. Juga termasuk dalam beberapa agent umum seperti antikonvulsan (sebagai contoh gabapentin dan pregabalin), yang  merupakan terapi utama pada nyeri neuropatik. Meskipun target gabapentin dan pregabalin tidak dapat disangsikan subunit a28g dari kanal kalsium. Mekanisme aksi dari campuran ini masih merupakan misteri. Peran yang menionjol dari reseptor NMDA dalam perkembangan sensitisasi sentral, kanal ini masih menjadi target yang menarik. Karena reseptor NMDA diekspresikan di selruuh sistem saraf, akan tetapi, potensi terjadinya efek samping antagonis  reseptor NMDA masih tinggi. 

Akhirnya pendekatan baru sedang dikembangkan untuk mencegah kontribusi sel glial pada nyeri kronik. Demikian, modulator glial, yang secara langsung mempengaruhi fungsi sel glia, dan obat purinergik yang mencegah aktivasi sel glia dengan ATP, merupakan kandidat obat untuk nyeri neuropatik.  Meskipun banyak tantangan, manajemen farmakoterapi di masa depan akan maju. Dengan begitu banyak detail nosisepsi dan proses sensitasi belum ditemukan, tidak perlu dipertanyakan bahwa kesempatan untuk berkembangnya obat akan tetap berkembang.

Mekanisme dasar dan Patofisiologi

Introduksi


Mekanisme dasar dan Patofisiologi
Kemampuan untuk mengalami rasa nyeri merupakan hal yang penting untuk bertahan hidup dan kelangsungan hidup. Akibat patologis yang dapat timbul karena ketidakmampuan untuk merasakan nyeri telah di jelaskan secara rinci dengan adanya nyeri berlebihan yang dialami oleh anak anak dengan kongenital indeferensi terhadap nyeri. Pada sistem nyeri, termasuk fiber aferen (nosiseptor) yang merespon terhadap jejas,, dan sirkuit yang berhubungan dengan afferen afferen ini, tidak hanya membentuk refleks withdrawal terhadap jejas, tetapi juga memberikan fungsi protektif terhadap jaringan atau jejas pada saraf. Pada kondisi seperti ini, neuron neuron pada jalur nyeri menjadi sensitive pada stimulus yang tidak menimbulkan jejas diersepsikan sebagai sangat nyeri (allodynia), dan stimulus yang normalnya nyeri dipersepsikan menjadi lebih nyeri (hiperalgesia). Proses sensitasi diperkirakan merupakan respon adaptif yang melindungi area jejas. Pada beberapa kasus, roses sensitasidapat bertahan  lama, kemudian berkembang menjadi sindrom nyeri kronik, tetap ada setelah nyeri akut terselesaikan. Pada keadaan patologis seperti ini, sering melemahkan kondisi, adanya kelainan plastisitas pada jalur nyeri yang berkembang menjadi sebuah kondisi kegagalan adaptif dimana nyeri tidak lagi sebagai sistem peringatan akut.

Kemampuan untuk mencegah kondisi yang bergantung pada pengertian komprehensif terhadap mekanisme dasar dimana sinyal nyeri dihasilkan oleh nosiseptor dan bagaimana informasi ini ditransmisikan ke sistem saraf pusat (CNS). Pada chapter ini, kita berfokus pada molekul dan tipe sel yang berperan dalam sensasi normal, dengan spesifik emfasis pada nosiseptor dan pada ordo kedua neuron-neuron pada spinal cord. Kita juga mendiskusikan bagaimana proses ini terjadi karena jejas jaringan atau jejas saaraf dan pada keadaan nyeri persisten

Neuron afferen primer


Deteksi stimulus somatosensoris diinisisasi oleh neuron sensoris primer dimana badan sel terdapat pada nervus trigeminusdan dorsal root ganglia. Pseudo unipolar neuron ini memperpanjang cabang affeen yang menginervasi jaringan perifer target dan cabang sentral afferen yanbg memiliki target spinal cord dorsal horn atau nukleus kaudal medulla (untuk afferen trigeminal). Afferen primer yang menginervasi jaringan somatik dari dulu dikategorikan menjadi 3 kelas AB, AG, C fiber, berdasarkan diameter, derajat myelinisasi, dan kecepatan konduksi. Perbedaan fisiologik dihubungkan dengan kontribusi fungsional atau sensasi somatik.badan sel yang memiliki Diameter terbesar memberikan peningkatan myelinisasi fiber AB yang mempercepat konduksi impuls nyeri dan mendeteksi stimulasi mekanik yang tidak menimbulkan jejas. Stimulus noxious termal,mekanis dan kimia, dideteksi oleh diameter menengah, memiliki myelin yang tipis fiber AG dan diameter yang kecil, serat C fiber yang tidak bermyelin. Kedua grup ini merupakan nosiseptor, dan menunjukkan sistem deteksi terhadap stimulus yang mampu membuat jejas pada jaringan, dan hanya tertarik pada intensitas stimulus mencapai range noxious. Nosiseptor AG memediasi cepat dan sensasi pricking pada nyeri pertama, dan c fiber membawa informasi kualitas nyeri pada nyeri kedua.

Subtipe nosiseptor


Studi elektrofisiologik telah mengidentifikasi 2 kelas nosiseptor AG. Tipe pertama siap diaktivasi oleh stimulasi mekanik. Sel-sel ini relatif tidak merespon pada durasi yang pendek, stimulasi panas yang noxious, tetapi lebih berespon pada periode yang lebihnpanjang pada stimulasi panas. Kelas kedua  tidak sensitif terhadap stimulasi mekanik tetapi lebih diaktifkan oleh panas. Nosiseptor AG memiliki karkteristik adanya ekspresi dari beberapa pertanda molekular. Berdasarkan status myelinisasi, serabut-serabut ini mengekspresikan neurofilamen, N52, pertanda fiber bermyelin. Sebagian nosissptor AG mengekspresi neuropeptide, calcitonin gene-related peptide (CGRP), kanal ion TRPV2 dan subtipe G dari reseptor opioid.

Sebagian besar nosiseptor serat C menunjukkan properti respon polimodal, serat serat ini  diaktivasi oleh modal multimodal dari stimulus nyeri, termasuk termal, kimia, dan mekanik. Walaupun lebih langka, spesifik pada modalitas. (contoh, eksklusif respon terhadap panas). Serat C tetap berperan. Nosiseptor serat C sejak dulu dibagi berdasarkan identias neurokimia, menjadi 2 kelas umum: nosiseptor peptidergik menunjukkan neuropeptide substance P dan CGRP, nosiseptor non-peptidergik kekurangan neuropeptide dan berikatan dengan lectin IB4. Bukti terbaru  menunjukkan bahwa molekul ini menunjukkan subtipe serat C membuat perbedaan kontribusi fungsi pada deteksi stimulus noxious dari modalitas yang berbeda. 

Nosiseptor dan deteksi stimulus noxious


Terminal perifer dari nosiseptor spesial untuk mendeteksi dan mentransduksi ztimulus noxious. Proses ini tergantung keberadaan dari kanal ion spesifik dan reseptor pada termjnal perifer. Diantara ini semuaa id sensing ion channel, purinergic P2x reseptor, pintu sodium bervoltase, kanal kalsium dan potassium, dan famili transient receptorpotential (TRP) dari kanal ion. Banyak dari molekul ini unik atau istimewa diekspresi di nosiseptof, dibandingkan bagian lain dari sistem saraf.

Mekanisme molekuler dari nosisepsi: termal, mekanik, dan kimia


Aktivasi ambang batas beberapa reseptor perifer sangat dekat dengan batas psikofisik antara persepsi stimulus thermal innocous dan noxious. Sebagai contoh, ambang nyeri akibat panas pada manusia, sekitar 43 derajat celcius, sesuai dengan aktivasi ambang terhadap sensoris kanal ion, TRPV1, pada tikus yang kurang memiliki TRPV 1 menunjukkan adanya kekurangan dalam sel dan respon terhadap noxious heat. Serupa dengan itu, kanal ion, TRPM8, berhubungan dengan temperatur dibawah 25derajat celcius, dan pada tikus yang memiliki kekurangan pada reseptor ini menunjukkan adanya pengurangan respon  yang drastis terhadap ambang panas dan dingin., termasuk ambang noxious. Kemudian, beberapa reseptor berperan dalam mendeteksi stimulus noxious thermal, termasuk kanal ion TRPV3 dan TRPV4.

Beberapa kandidat reseptor telah  diusulkan mendasari mekanisme transduksi, termasuk anggota dari famili degenerin/ epithelial Na+ channel (DEG/EnaC) dan anggota dari famili TRP (sebagai contoh TRPV2, TRPV4, dan TRPA1). Akan tetapi studi knockout gene telah gagal menegaskan dukungan fungsi esensial molekul molekul di dalam mekanisme transduksi. Karena mekanisme hipersensitivitas adalah  masalah klinis yang besar, identifikasi molekul kunci transduser masih menjadi tantangan yang besar.

Akhirnya, stimulus kimia noxious mengaktivasi sejumlah reseptor yang ditemukan di terminal nosiseptor. Diantaranya adalah ASIC dan  reseptor ATP responsive purinergi. Yang mungkin relevan dengan jejas jaringan, dimana perubahan pH dan pelepasan ATP sudah biasa. Beberapa kanal TRP  (TRPV1) juga diregulasi dengan pH dan banyak target iritan yang berasal dari tumbuhan, termasuk capsaicin (TRPV1), menthol (TRPM8) dan bahan-bahan yang ada di mustar dan bawang (TRPA 1). TRPA 1 juga merespon terhadap hots dari  lingkungan iritan. Akhirnya, ada mediator kimawi endogen tertentu yang mengaktivasi kanal subtipe TRP yang berbeda. Mediator- mediator ini mungkin sangat berperan pada jejas jaringan viscera, innervasi afferen yang tidak bisa diakses terhadap stimulus kimiawi eksogen atau stimulus thermal  yang intens.

Konduksi sinyal nosisepsi


Nosiseptor mengekspresi perlengkapan untuk subtipe kanal ion gerbang bervoltase. Diantara neuron sensoris spesifik terhadap kanal sodium Nav 1,8 dan 1,9, yang  tersebar mengekspresi knal sodum Nav1,7, berperan pada generasi dan transduksi aksi potensial di nosiseptor. Peran yang sangat penting dari Nav 1,7 dapat nosisepsi telah didemonstrasikan di laporan yang terjadinya mutasi kehilangan fungsi pada kanal ini di manusia yang mengarah pada ketidakmampuan untuk mendetekstimulus nyeri, sementara terjadinya mutasi bertambahnya fungsi mengarah ke gangguan dengan karakteristik nyeri terbakar yang intens. Kanal  potassium tipe KCNQ yang juga berperan penting dalam menentukan waktu repolarisasi nosiseptor.

Ketika aksi potensial memasuki terminal sentral di nosiseptro, pelepasan neurotransmitter dipicu melalui aktivasi kanal  kalsium gerbang bervoltase  N-, P/Q-, dan  tipe T.. Meskipun glutamate adalah neurotransmitter utama, jika tidak wajib, neurotransmitter eksitasi di semua nosiseptor, neuron peptidergic melepaskan SP dan CGRP . Reseptor spesifik untuk neurotransimtter ini yaitu reseptro  N-methyl-Daspratat Acid (NMDA) dan reseptor a-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionat acid (AMPA) untuk glutamate, reseptor neurokinin 1 untuk SP, dan CGRP berlokasi pada tempat yang tidak seharusnya di spinal cord dorsal horn, dan memediasi respons post synaps sampai aktivasi afferen primer.

Wednesday, May 6, 2015

Konsep Komunikasi

Komunikasi merupakan proses penyampaian dan penerimaan pesan dari seseorang yang dibagi kepada orang lain. Berkomunikasi berarti membantu menyampaikan pesan untuk kemudian diketahui dan dipahami bersama sehingga bisa menimbulkan kesepahaman dan mencapai tujuan tertentu dari komunikasi yang dilakukan. 

Konsep Komunikasi
Salah satu keebutuhan manusia yang sangat fundamental dalam kehidupan bermasyarakat menurut Wilbur Schramm dalam Hafied Cangara (2014:1) adalah komunikasi. Komunikasi dan masyarakat adalah dua kata kembar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, sebab tanpa komunikasi tidak akan mungkin terbentuk masyarakat, demikian pula sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak akan mungkin bisa mengembangkan komunikasinya. Pada hakekatnya bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa komunikasi, karena memang sebagai makhluk sosial manusia dikodratkan untuk hidup berkomunikasi sehingga bisa melakukan pertukaran informasi dan hubungan sosial dengan manusia lain di sekitarnya, tidak hanya itu setiap manusia cenderung memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya, dan itu hanya dapat terpenuhi melalui komunikasi. Dengan berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, atau di mana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam komunikasi, bahkan saat tidurpun seorang manusia sedang berkomunikasi non verbal melalui tindakan tidur yang dilakukannya.

Faktanya bahwa komunikasi merupakan unsur yang sangat penting dan memiliki tiga fungsi dasar yang dikemukakan oleh Harold D. Lasswell dalam Cangara (2014:2)  sehingga mendorong dan menjadi penyebab mengapa komunikasi sangat penting dan dibutuhkan oleh manusia, yaitu : Pertama, adanya hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya sehingga hal ini perlu dilakukan melalui komunikasi guna mengetahui peluang-peluang yang ada untuk dimanfaatkan, dipelihara dan menghindar dari hal-hal yang mengancam alam sekitarnya. Sebuah peristiwa atau kejadian dapat diketahui melalui komunikasi. Komunikasi bahkan mampu menjadikan manusia bisa mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya dengan mempelajari informasi yang diterima dari lingkungan sekitarnya. Kedua, membantu manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya dimana proses kelanjutan suatu masyarakat sesungguhnya tergantung bagaimana masyarakat itu bisa beradaptasi dengan lingkungannya agar manusia dapat hidup dalam suasana yang harmonis. Ketiga, membantu manusia untuk melakukan transformasi warisan sosialisasi dengan melakukan pertukaran nilai, perilaku dan peranan. Ketiga fungsi dasar tersebutlah yang menjadi patokan dasar bagi setiap manusia dalam berhubungan dengan sesama anggota masyarakat. Lebih lanjut David K. Berlo dalam Cangara (2014:3) menyebutkan secara ringkas bahwa:
Komunikasi sebagai instrument dari interaksi sosial berguna untuk mengetahui dan memprediksi sikap orang lain, juga untuk mengetahui keberadaan diri sendiri dalam menciptakan keseimbangan dengan masyarakat.

Dengan demikian jelas bahwa komunikasi bisa berguna sebagai alat dalam hubungan sosial di kehidupan bermasyarakat yang mampu menjadi sumber kekuatan utama di era globalisasi untuk menguasai dunia, karena melalui komunikasi kita sebagai makhluk sosial bisa melakukan berbagai bentuk negosiasi dan kerjasama dengan bangsa manapun di dunia ini.

Setelah mengetahui demikian pentingnya komunikasi dalam kehidupan manusia, selanjutnya mari kita melihat arti kata komunikasi itu sendiri, secara etimologis komunikasi berasal dari Bahasa latiin “communication” yang akar katanya bersumber dari kata “communis” yang artinya sama, dalam artian bahwa membuat kebersamaan atau membangun kesamaan pengertian antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari akar kata dalam Bahasa Latin “communico” yang artinya membagi. Dengan demikian berarti bahwa komunikasi hanya bisa terjadi dengan baik apabila terdapat dua orang atau lebih yang berbagi informasi kesamaan makna tentang sesuatu hal yang dikomunikasikan. Dalam kehidupan kita selain menjadi makhluk individu, kita juga sebagai makhluk sosial yang sangat membutuhkan interaksi dengan orang lain. Nah dari interaksi itulah terjadi sebuah komunikasi untuk menyampaikan sesuatu, saling bertukar pendapat dengan orang lain untuk mencapai sebuah tujuan.

Secara terminologi, Berelson dan Steiner (dalam Harun dan Ardianto, 2012:23) mendefinisikan komunikasi sebagai proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lainnya. Melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar-gambar, angka-angka dan lainnya.  Pandangan lain yang dikemukanakn oleh Richard West dan Turner (2008:5) bahwa koomunikasi adalah proses sosial di mana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka.

Theodorson and Theodorson (dalam Harun dan Hardianto, 2012:22) mengemukakan bahwa komunikasi adalah penyebaran informasi, ide-ide, sikap-sikap, atau emosi dari seseorang atau kelompok kepada yang lain atau yang lain-lainnya, terutama melalui simbol-simbol. Selanjutnya Everett M. Rogers dalam Cangara (2014:22) menyatakan bahwa komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Defenisi ini kemudian dikembangkan oleh Rogers bersama D. Lawrence Kincaid dalam Cangara (2014:22) sehingga melahirkan suatu definisi baru bahwa

Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.

Dari pengertian tersebut jelas bahwa ada saling pengertian yang akan tercipta dari proses komunikasi yang berlangsung. Komunikasi sebagai ilmu yang multidisiplin telah dikembangkan oleh berbagai macam ahli dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, oleh karena itu terdapat beragam jenis defenisi komunikasi yang dikemukakan oleh ilmuwan berdasarkan sudut pandang bidang keahlian mereka. Dengan demikian pengertian komunikasi jika ditinjau dari pandangan beberapa ahli akan sangat beragam dan membuat khasanah ilmu komunikasi jadi makin berwarna indah dengan sumbangan pemikiran dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. 

Seorang doktor dalam bidang psikologi, Charl Hovland dalam Effendi (2002:48) mendefenisikan komunikasi sebagai salah satu proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang (biasanya lambang Bahasa) untuk mengubah perilaku orang lain. Menganalisa defenisi ini membuat kita mengerti bahwa komunikasi menginginkan adanya umpan balik berupa pengubahan perilaku dari si penerima pesan sesuai keinginan yang diharapkan oleh si pengirim pesan.

Defenisi komunikasi menurut kelompok sarjana komunikasi dalam Cangara (2014:21) yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antar manusia menyatakan bahwa:

Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan (1) membangun hubungan antar sesama manusia; (2) melalui pertukaran informasi; (3) untuk menguatkan konsep dan tingkah laku orang lain; serta (4) berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu.

Melihat defenisi yang dikemukakan oleh kelompok sarjana komunikasi tersebut di atas memberikan pengertian mendalam bahwa komunikasi melibatkan penggunaan simbol-simbol tertentu dalam membangun hubungan yang harmonis antar sesama manusia dengan berusaha mengatur lingkungan melalui hubungan yang baik antar sesama manusia dan tujuan akhir komunikasi menghendaki adanya pengubahan tingkah laku ataupun sikap dan paling tidak pengetahuan dari orang lain yang telah menerima sebuah informasi tertentu.

Harold D. Lasswell dalam Cangara (2014:21) memberikan sebuah defenisi singkat bahwa cara yang tepat untuk menerangkan suatu tindakan komunikasi ialah menjawab pertanyaan “siapa yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa, dan apa pengaruhnya?.

Lima unsur komunikasi dari defensi yang dikemukakan oleh Lasswell tersebut dapat diperjelas sebagai berikut:
  1. Who?, siapa sumber/komunikator yang merupakan pelaku utama/pihak yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi atau yang memulai suatu komunikasi, bisa seorang individu, kelompok, organisasi, maupun suatu negara sebagai komunikator.
  2. Says What?, pesan atau apa yang akan disampaikan/dikomunikasikan kepada penerima (komunikan), dari sumber (komunikator) atau isi informasi. Merupakan seperangkat simbol verbal/non verbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksud sumber tadi. Ada 3 komponen pesan yaitu makna, simbol untuk menyampaikan makna, dan bentuk/organisasi pesan.
  3. In Which Channel?, saluran atau media apa yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator (sumber) kepada komunikan (penerima) baik secara langsung (tatap muka), maupun tidak langsung(melalui media cetak/elektronik dan lain-lain.
  4. To Whom?, untuk siapa pesan itu disampaikan, apakah sasrannya seseorang, sekelompok orang baik dalam suatu organisasi maupun suatu negara yang menerima pesan dari sumber. Hal ini biasa disebut sebagai kelompok sasaran pesan, atau pendengar, khalayak, komunikan, penafsir, penyandi balik atau decoder.
  5. With What Effect?, dampak atau efek yang terjadi pada komunikan (penerima) setelah menerima pesan dari sumber, seperti perubahan sikap, bertambahnya pengetahuan, dan lain sebagainya.

Dengan demikian dapat difahami bahwa komunikasi adalah pesan yang disampaikan kepada komunikan (penerima) dari komunikator (sumber) melalui saluran-saluran tertentu baik secara langsung/tidak langsung dengan maksud memberikan dampak/efek kepada komunikan sesuai dengan yang diingikan komunikator, yang memenuhi 5 unsur who, says what, in which channel, to whom, with what effect.

Lain halnya dengan Steven, dalam Cangara (2014:21), justru mengajukan sebuah defenisi yang lebih luas, bahwa komunikasi terjadi kapan saja suatu organism memberi reaksi terhadap suatu objek atau stimuli. Apakah itu berasal dari seseorang atau lingkungan sekitarnya. Misalnya seseorang berlindung pada suatu tempat karena diserangbadai, atau kedipan mata sebagai reaksi terhadap sinar lampu, juga adalah peristiwa komunikasi.  Dari defenisi tersebut memberikan arti yang sangat luas mengenai komunikasi, bahwa komunikasi adalah sebuah cara yang digunakan sehari-hari dalam menyampaikan pesan/rangsangan (stimulus) yang terbentuk melalui sebuah proses yang melibatkan dua orang atau lebih bahkan sikap kita terhadap kondisi rangsangan lingkungan pun dikategorikan sebagai komunikasi. Dimana satu sama lain memiliki peran dalam membuat pesan, mengubah isi dan makna, merespon pesan/rangsangan tersebut, serta memeliharanya di ruang publik. Dengan tujuan sang "receiver" (komunikan) dapat menerima sinyal-sinyal atau pesan yang dikirimkan oleh "source" (komunikator).

Berbagai macam defenisi yang telah dikemukakan di atas tentu saja belum mampu untuk mewakili semua defenisi yang telah diciptakan oleh banyak pakar dengan berbagai latar belakang disiplin ilmu yang berbeda, akan tetapi sedikit banyaknya telah memberikan gambaran seperti apa komunikasi itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh Shannon dan Weaver (1949) dalam Cangara ( 2014:21) bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi antara manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan Bahasa verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi. Karena itu jika kita berada dalma suatu situasi berkomunikasi, maka kita memiliki beberapa kesamaan ari simbol-simbol yang digunakan dalam berkomunikasi. 

Dari berbagai pandangan ahli tentang komunikasi maka dapat difahami bahwa komunikasi bisa terjadi karena adanya beberapa unsur yang terkait untuk membangun sebuah komunikasi. Berikut ini unsur pembangun komunikasi:
  1. Sumber yaitu pusat informasi atau pengirim informasi. Komunikasi yang terjadi pada kita, bisa dari satu orang atau lebih (kelompok) misalnya sebuah organisasi, perkumpulan dsb. Sumber komunikasi disebut juga komunikator.
  2. Penerima yaitu pihak dimana ia menjadi tujuan untuk dikirimi pesan atau info oleh sumber (komunikator). Penerima bisa terdiri dari satu orang atau lebih. Penerima juga bisa disebut komunikan.
  3. Pesan adalah informasi yang disampaikan oleh pengirim pesan kepada penerima (komunikan). Pesan tersebut bisa disampaikan dengan secara langsung atau melalui media komunikasi yang tersedia.
  4. Media yaitu alat yang digunakan dalam berkomunikasi untuk mengirim pesan (informasi) dari sumber kepada penerima.
  5. Efek yaitu sebuah pengaruh yang dipikirkan dan dirasakan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Yang kemudian akan mempengaruhi sikap seseorang dalam menelaah pesan.
  6. Umpan Balik yaitu sebuah bentuk tanggapan balik dari penerima setelah memperoleh pesan yang diterima.
  7. Lingkungan merupakan situasi atau faktor-faktor tertentu yang dapat mempengaruhi jalannya komunikasi. Faktor ini dapat digolongkan dalam empat macanm yaitu lingkungan fisik, lingkungan sosial budaya, lingkungan psikologis dan lingkungan dimensi waktu.

Selain itu bahwa benang merah dari berbagai defenisi mengenai komunikasi bisa diakatakan bahwa secara essensial komunikasi adalah proses penyampaian pesan baik secara verbal maupun non verbal oleh komunikator terhadap komunikan yang dapat dapat memberikan pengaruh. Kesuksesan komunikasi terletak pada saling pengertian antara pihak pengirim (komunikator) dan penerima informasi (komunikan) untuk saling memahami.


Sumber Pustaka : Konsep Komunikasi

  1. Cangara, Hafied. 2014. Pengantar Ilmu Komunikasi. Edisi Kedua, Cet. Ke-14. Rajawali Pers, Jakarta.
  2. Effendy, Onong Uchjana. 2002. Dinamika Komunikasi. Remaja Rosdakarya, Bandung
  3. Harun, Rochajat & Elvinaro Ardianto. 2012. Komunikasi Pembangunan dan Perubhaan Sosial: Perspektif Dominan, Kaji Ulang, dan Teori Kritis. Edisi Pertama, Cet. Ke-2. Rajawali Pers, Jakarta 
  4. West. Richard & Lynn H. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jilid 1 & 2. Salemba Humanika, Jakarta



Tuesday, May 5, 2015

Konsep Informasi dalam Perspektif Komunikasi

Konsep Informasi dalam Perspektif Komunikasi
Salah satu kebutuhan pokok manusia dewasa ini yang tak kalah pentingnya selain sandang, pangan dan papan adalah informasi. Informasi dibutuhkan dalam berbagai perspektif dan kepentingna setiap individu yang akan memanfaatkan informasi tersebut. Dalam perspektif manusia sebagai mahluk pencerita, manusia membutuhkan informasi untuk dikonsumsi maupun dibagikan lagi terhadap orang lain di sekitarnya. Dalam perspektif manajemen, informasi merupakan data yang berguna sebagai bahan dalam pengambilan suatu keputusan tertentu. Dalam perspektif  sosial informasi dapat menjadi bagian penting untuk bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Sejak kita membuka mata dipagi hari misalnya, kita telah disuguhi berbagai macam informasi lewat beragam media informasi yang tersaji secara apik dan menarik untuk kita simak dan menambah wawasan ataupun pengetahuan kita tentang berbagai hal yang ada disekitar kita.

Konsep informasi dilihat dari perspektif komunikasi manurut pandangan Pawit M. Yusuf (2012:210) adalah segala sesuatu berupa berita, pesan (messages) atau pemberitahuan. Sebagai pesan maka informasi merupakan unsur dasar dalam komunikasi. Fisher dalam Widjaja (2000:116) memandang konsep informasi digunakan untuk menunjukkan fakta atau data yang dapat diperoleh selama tindakan komunikasi berlangsung, misalnya informasi yang diperoleh saat membaca koran, saat berbincang dengan orang lain, saat menonton televisi dan lain sebagainya. 

Secara gamblang Rudy Bretz dalam Onong Uchjana Effendy (1996:77) mengatakan informasi adalah apa yang difahami. Sangat singkat tetapi memberikan makna bahwa informasi itu mestilah bisa dimengerti oleh penerimanya agar kemudian mampu disampaikan pada orang lain sebagai pesan. Istilah pesan mengandung arti informasi yang datang dari pengirim pesan yang ditujukan kepada penerima pesan. Proses penyampaian pesan dan penerimaan pesan tersebut dinamakan komunikasi.

Memaknai informasi sebagai unsur dasar komunikasi maka kiranya tepat jika ditelaah menggunakan teori S-M-C-R-E yang memiliki lima unsur utama dalam komunikasi yang disampaikan oleh Lasswel yaitu: “who says what in channel to whom and with what effect”.  Teori ini sebenarnya mengandung formulasi yang sama seperti yang dinyatakan oleh Everett M. Rogers dan W. Floyd Shoemaker, dalam bukunya berjudul “Communication of Innovation” yang diterbitkan di New York: Free Press (1971), bahwa “A Common model of communication is that source, message, channel, receiver, and effect” . Teori ini memandang adanya informasi berupa pesan, baik berbentuk ide, gagasan ataupun penemuan baru yang akan disampaikan oleh komunikator melalui berbagai saluran komunikasi baik massa maupun personal untuk target sasaran dengan tujuan mendapatkan umpan balik sesuai yang diharapkan. Teori ini mempertegas informasi sebagai bagian dari unsur komunikasi yang berupa pesan. Pesan dalam proses komunikasi merupakan sesuatu yang disampaikan komunikator kepada komunikan, baik melalui media komunikasi maupun melalui tatap muka secara langsung yang isinya dapat berupa ilmu pengetahuan, hiburan, nasihat, propaganda, informasi tentang hal apapun dan lain sebagainya.

Informasi yang berkembang demikian pesat sebagai salah satu kebutuhan utama dalam kehidupan manusia, jauh sebelumnya  telah utarakan oleh Rogers (1986:11), bahwa perkembangan informasi di masa depan akan mempengaruhi kehidupan manusia untuk mengembangkan diri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengalihkan pilihannya pada berbagai bidang pekerjaan pada zaman yang berbeda mulai dari masa bercocok tanam (farming), dilanjutkan dengan masa industrialisasi (industry), kemudian melangkah kepada dekade pengembangan dan pemanfaatan jasa (service) dan terakhir sampai pada zaman informasi (information). Informasi bisa diperlakukan sebagai sumber daya, sebagai bahan konsumsi bagi masyarakat sesuai dengan jenis kebutuhannya sehingga manusia menjadi sangat tergantung pada informasi sebagai suatu kebutuhan yang mutlak. Oleh karena itu, tidak heran jika pada masa modernisasi saat ini informasi menjadi sesuatu yang mempunyai nilai jual, informasi telah menjadi suatu mata pencaharian bagi sebagian besar manusia di muka bumi ini seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang membuka banyak ruang untuk dieksploitasi menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Bahkan saat ini cenderung telah tercipta masyarakat informasi sebagai hasil perkembangan teknologi komunikasi massa (Denis McQuail, 2011:114). 

Istilah informasi menurut Ahmad (1990:1) berasal dari kata benda latin purba “informatio" yang dalam kamus latin-Indonesia mempunyai arti: tanggapan, gagasan, pengertian, pikiran, juga berarti pendidikan, pengajaran, dan penggemblengan. Pengertian yang diberikan tersebut hanya merupakan arti kata “informatio” yang merupakan kata dari bahasa latin yang belum mendefenisikan pengertian informasi sesungguhnya.

Untuk memperjelas konsep informasi lebih lanjut, mari kita tinjau pengertian informasi secara etimologis dalam Bahasa Indonesia, dimana kata informasi berasal dari kata “informare" yang terdiri dari dua kata yaitu “in” dan “forma” yang memiliki arti membentuk, merupakan, menjadikan, menyempurnakan atau dapat pula diartikan membentuk pengertian atau gagasan tentang sesuatu hal,  menggambarkan, melukiskan, memberi pengetahuan atau mendidik dengan pengajaran.

Lebih lanjut dalam  Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:378), arti kata informasi adalah penerangan, keterangan, pemberitahuan, kabar atau berita tentang sesuatu. Arti kata informasi dalam bahasa Inggris menurut Oxford Dictionary ‘information’ adalah ‘facts or knowledge given'. Jadi pengertian informasi menurut penutur Inggris adalah fakta-fakta atau pengetahuan yang diberikan atau yang didapatkan.

Sederhananya, informasi adalah segala sesuatu yang mempunyai arti dan nilai bagi penerima informasi, jika tidak bernilai bagi penerimanya maka berarti hal tersebut bukanlah informasi, dengan demikian informasi harus berisi nilai atau sesuatu hal yang baru di dalamnya karena hal itulah sesuatu itu dikatakan informasi. 

Banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang memberikan konsepnya tentang apa itu informasi dengan berbagai arti dan maknanya. Akan tetapi kita hanya akan melihat konsep informasi dalam perspektif komunikasi, untuk itu defenisi yang dikemukakan oleh Ahmad (1990:4) kiranya tepat untuk disimak, bahwa:

"Kata informasi sehubungan dengan kehidupan yang dipraktekkan masyarakat sosial secara luas adalah: pertama, setiap ransangan dari lingkungan fisik dan sosial yang memberi kesadaran tentang sesuatu yang ada, yang sedang terjadi, dan atau yang sedang berlangsung di sekeliling individu, baik yang disengaja ataupun tidak sengaja dibuat oleh manusia atau lingkungan alam di sekitar individu itu sendiri. Kedua, informasi adalah segala sesuatu yang diketahui atau pengetahuan yang diperoleh melalui proses yang diolah dan informasi yang diterima dengan informasi dipunyai yang biasa disebut dengan belajar".

Pandangan Pawit M. Yusuf (1995:7) bahwa informasi merupakan catatan atau rekaman suatu fenomena yang dapat diamati atau berupa keputusan-keputusan penting. Informasi merupakan sesuatu yang berupa pengetahuan lisan atau tertulis. Di masa sekarang ataupun masa yang akan datang informasi tertulis ataupun terekam akan mempunyai nilai yang tinggi dan berguna bagi kehidupan masyarakat. Jadi informasi yang dihasilkan merupakan sesuatu yang bermakna bagi pengguna informasi, bagi penyedia informasi dan juga bagi suatu sistem pengetahuan dalam masyarakat. Dengan demikian informasi adalah suatu data, pengetahuan, suara, gambar, dari yang sederhana sampai yang kompleks dan dapat digunakan oleh pemakai informasi dalam melakukan komunikasi.

Eastabrook (1977) dalam Pawit M. Yusuf (2012:210) mendefinisikan informasi sebagai rekaman fenomena, bisa berupa data yang sudah diolah, diinterpretasikan, ditulis, dan mempunyai potensi bermanfaat bagi seseorang. Sementara itu masih dalam Encarta Dictionary (2009) dalam Pawit M. Yusuf (2012:210) dikemukakan bahwa informasi bisa diperlakukan sebagai sumber daya, sebagai komoditas, sebagai bentuk persepsi manusia, sebagai bahan konsumsi bagi masyarakat sesuai dengan jenis kebutuhannya. Dari kedua definisi yang telah diungkapkan memberikan kita makna bahwa semua data, fakta, pengetahuan, ide, dan peristiwa lain yang direkam dalam cetakan, rekaman elektronik, optik, juga komputer adalah termasuk informasi yang bisa dipersepsikan berbeda oleh setiap individu tergantung dari sisi mana mereka memandang dan memanfaatkannya dalam proses komunikasi.

Gordon B. Davis (1991:28) mendefinisikan informasi sebagai sekumpulan data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk lain yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat bagi pengambilan keputusan baik untuk saat ini maupun di masa yang akan datang. Data tertentu terkadang belum memberikan informasi yang berarti sampai data tersebut diolah sedemikian rupa sehingga bisa dimaknai dan diartikan sehingga memberikan pengetahuan baru bagi yang membutuhkan sehingga kelak mempunyai nilai manfaat.

Hasil telaah dari beberapa defenisi mengenai informasi yang telah diuraikan memberikan benang merah tentang konsep informasi yang dapat diartikan sebagai hasil olah pesan-pesan baik berupa data yang telah diproses sedemikian rupa sehingga bermakna dan bermanfaat dalam memberikan pengetahuan baru bagi penerimanya yang dapat digunakan untuk melakukan proses komunikasi selanjutnya.

Informasi yang berkualitas tergantung dari tiga hal, yaitu: 
  1. Akurat, yang artinya informasi harus bebas dari kesalahan-kesalahan dan harus jelas mencerminkan maksudnya.
  2. Tepat pada waktunya, yang artinya informasi yang diterima tidak boleh terlambat.
  3. Relevan, yang artinya informasi tersebut mempunyai manfaat oleh pemakainya. 

Sumber informasi adalah data. Data itu berupa kenyataan yang menggambarkan suatu kejadian-kejadian dan kesatuan nyata yang kemudian diolah melalui suatu metode untuk menghasilkan informasi. Data diolah melalui suatu model sehingga menjadi informasi, penerima kemudian menerima informasi tersebut, membuat suatu keputusan dan melakukan tindakan, yang kemudian menghasilkan suatu tindakan yang lain yang akan membuat sejumlah data kembali. Data tersebut akan ditangkap sabagai input, diproses kembali lewat suatu model dan seterusnya membentuk suatu siklus. Siklus informasi ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar : Siklus Informasi (Tata Sutabri, 2005:21)

Siklus Informasi



Beberapa defenisi tentang informasi yang telah dikemukakan menyiratkan bahwa informasi itu mestinya mempunyai manfaat bagi penerima ataupun orang-orang yang berkepentingan, namun perlu diketahui bahwa informasi tidak serta merta senantiasa bermanfaat, hal tersebut sangatlah tergantung pada apa yang menjadi tujuan si penerima, disampaikan pada orang yang tepat pada waktu dan ruang yang tepat pula.

Informasi yang baik dan lengkap dalam konteks organisasi mestinya harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Parker dalam Wahyudi (1994:11), yang meliputi: ketersediaan akan informasi itu sendiri saat diperlukan, mudah dipahami, relevan dengan masalah yang ada, bermanfaat buat pengambilan keputusan dalam pemecahan masalah, tepat waktu, dari sumber terpercaya, akurat dan konsisten.

Dengan melihat beberapa syarat informasi yang baik tersebut, jelaslah bahwa informasi yang dapat berguna apalagi dalam konteks komunikasi tidaklah sesederhana yang mungkin dibayangkan tetapi tentu bukan pula sesuatu yang sangat rumit untuk diketahui. Informasi mestilah mudah dipahami sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tersedia tepat waktu dan bersumber dari fakta-fakta yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya sehingga bisa memperlancar komunikasi yang akan terjadi selanjutnya.


Sumber Pustaka : Konsep Informasi dalam Perspektif Komunikasi


  1. Ahmad, A.S. 1990. Manusia dan Informasi. Hasanuddin University Press, Ujung Pandang
  2. Effendy, Onong Uchjana. 2002. Dinamika Komunikasi. Remaja Rosdakarya, Bandung
  3. Gordon, B. Davis. 1991. Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen Bagian 1, PT. Pustaka Binamas Pressindo, Jakarta
  4. Pustaka, Balai. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Perum Balai Pustaka, Jakarta
  5. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Cet. Ke-14. Alfabeta, Bandung.
  6. Yusuf, M. Pawit. 1995. Pedoman Praktis Mencari Informasi. Remaja Rosdakarya, Bandung



Friday, May 1, 2015

Standar Profesional Audit Internal

Hery mengemukakan (2010:73) standar profesional audit internal terbagi atas empat macam diantaranya yaitu:
Standar Profesional Audit Internal

A. Independensi 

(1) Mandiri dan Objektif 
Audit internal harus mandiri dan terpisah dari berbagai kegiatan yang diperiksa. Auditor inernal dianggap mandiri apabila dapat melaksanakan pekerjaannya secara bebas dan objektif. Kemandirian audit internal sangat penting terutama dalam memberikan penilaian yang tidak memihak (netral). Hal ini hanya dapat diperoleh melalui status organisasi dan sikap objektif dari para audit interrnal. Status organisasi audit internal harus dapat memberikan keleluasaan bagi audit internal dalam menyelesaikan tanggung jawab pemeriksaan secara maksimal. 

B. Kemampuan profesional 

(1) Pengetahuan dan kemampuan 
Kemampuan profesional wajib dimiliki oleh audit internal. Dalam setiap pemeriksaan, pimpinan audit internal haruslah menugaskan orang-orang yang secara bersama-sama atau keseluruhan memiliki pengetahuan dan kemampuan dari berbagai disiplin ilmu, seperti akuntansi, ekonomi, keuangan, statistik, pemrosesan data elektronik, perpajakan, dan hukum yang memang diperlukan untuk melaksanakan pemeriksaan secara tepat dan pantas. 

(2) Pengawasan 
Pimpinan audit internal bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan terhadap segala aktivitas pemeriksaan yang dilakukan oleh para stafnya. Pengawasan yang dilakukan sifatnya berkelanjutan, yang dimulai dengan perencanaan dan diakhiri dengan penyimpulan hasil pemeriksaan yang dilakukan. Pengawasan yang dimaksud mencakup sebagai berikut:
  • Memberikan instruksi kepada para staf audit internal pada awal pemeriksaan dan menyetujui program-program pemeriksaan;
  • Melihat apakah program pemeriksaan yang telah disetujui dilaksanakan, kecuali bila terdapat penyimpangan yang dibenarkan atau disalahkan;
  • Menentukan apakah kertas kerja pemeriksaan telah cukup untuk mendukung temuan pemeriksaan, kesimpulan-kesimpulan, dan laporan hasil pemeriksaan; 
  • Meyakinkan apakah laporan pemeriksaan tersebut akurat, objektif, jelas, ringkas, konstruktif dan tepat waktu; dan
  • Menentukan apakah tujuan pemeriksaan telah dicapai. 

(3) Ketelitian Profesional 
Audit internal harus dapat bekerja secara teliti dalam melaksanakan pemeriksaan. Audit internal harus mewaspadai berbagai kemungkinan terjadinya pelanggaran yang dilakukan dengan sengaja, kesalahan, kelalaian, ketidakefektifan, pemborosan (ketidakefesienan) dan konflik kepentingan. 

c)  Lingkup pekerjaan 
(1)  Keandalan informasi 
Audit internal haruslah menguji sistem informasi tersebut dan menentukan apakah berbagai catatan, laporan finansial dan laporan operasional perusahaan mengandung informasi yang akurat, dapat dibuktikan kebenarannya, tepat waktu, lengkap dan berguna; dan

(2) Kesesuaian dengan kebijakan, rencana, prosedur, dan ketentuan perundang-undangan.
Manajemen bertanggung jawab untuk menetapkan system yang dibuat dengan tujuan memastikan pemenuhan berbagai persyaratan, seperti kebijakan, rencana, prosedur, dan peraturan perundang-undangan. Audit internal bertanggung jawab untuk menentukan apakah sistem tersebut telah cukup efektif dan apakah berbagai kegiatan yang diperiksa telah sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan. 

(3) Perlindungan aktiva 
Audit Internal harus meninjau berbagai alat atau cara yang digunakan untuk melindungi aktiva perusahaan terhadap berbagai jenis kerugian, seperti kerugian yang diakibatkan oleh pencurian, dan kegiatan yang ilegal. Pada saat memverifikasi keberadaan suatu aktiva, Audit Internal harus menggunakan prosedur pemeriksaan yang sesuai dan tepat. 

(4) Penggunaan sumber daya 
Audit internal harus dapat memastikan keekonomisan dan keefesienan penggunaan sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan. Audit internal bertanggung jawab untuk: 
  • Menetapkan suatu standar operasional untuk mengukur keekonomisan dan efesiensi; 
  • Standar operasional tersebut telah dipahami dan dipenuhi; 
  • Berbagai penyimpangan dari standar operasional telah diidentifikasi, dianalisis, dan diberitahukan kepada berbagai pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan tindakan perbaikan; dan 
  • Tindakan perbaikan telah dilakukan. 

(5) Pencapaian tujuan 
Audit internal harus dapat memberikan kepatian bahwa semua pemeriksaan yang dilakukan sudah mengarah kepada pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan oleh perusahaan. 

d) Pelaksanaan kegiatan pemeriksaan 
(1) Perencanaan kegiatan pemeriksaan 
Audit internal harus terlebih dahulu melakukan perencanaan pemeriksaan dengan meliputi: 
(a) Penetapan tujuan pemeriksaan dan lingkup pekerjaan; 
(b) Memperoleh informasi dasar tentang objek yang akan diperiksa; 
(c) Penentuan tenaga yang diperlukan untuk melaksanakan pemeriksaan; 
(d) Pemberitahuan kepada para pihak yang dipandang perlu; 
(e) Melakukan survei secara tepat untuk lebih mengenali bidang atau area yang akan diperiksa; 
(f) Penetapan program pemeriksaan; 
(g) Menentukan bagaimana, kapan dan kepada siapa hasil pemeriksaan disampaikan; dan
(h) Memperoleh persetujuan atas rencana kerja pemeriksaan.

(2) Pengujian dan pengevaluasian 
Audit internal harus melakukan pengujian dan pengevaluasian terhadap semua informasi yang ada guna memastikan ketepatan dari informasi tersebut yang nantinya akan digunakan untuk pemeriksaan. 
(3) Pelaporan hasil pemeriksaan 
Audit internal harus melaporkan hasil pemeriksaan yang dilakukannya. Laporan yang dibuat haruslah objektif, jelas, singkat, konstruktif dan tepat waktu. Objektif adalah laporan yang faktual, tidak berpihak, dan terbebas dari distorsi. Laporan yang jelas adalah laporan yang mudah dimengerti dan logis. Laporan yang singkat adalah laporan yang diringkas langsung membicarakan pokok permasalahan dan menghindari berbagai perincian yang tidak diperlukan. 
Laporan yang konstruktif adalah laporan yang berdasarkan isi dan sifatnya akan membantu pihak yang diperiksa dan organisasi serta menghasilkan berbagai perbaikan yang diperlukan. Laporan yanng tepat waktu adalah laporan yang pemberitaanya tidak ditunda dan mempercepat kemungkinan pelaksanaan berbagai tindakan yang koreksi dan efektif. Audit internal juga harus langsung melaporkan hasil pemeriksaannya kepada pimpinan dan karyawan lain apabila membutuhkan. 
(4) Tindak lanjut pemeriksaan 
Audit internal harus secara terus menerus meninjau dan melakukan tindak lanjut untuk memastikan apakah suatu tindakan perbaikan telah dilakukan dan memberikan berbagai hasil yang diharapkan. Tindak lanjut Audit Internal didefinisikan sebagai suatu proses untuk menentukan kecukupan, keefektifan, dan ketepatan waktu dari berbagai tindakan yang dilakukan oleh menejemen terhadap berbagai temuan pemeriksaan yang dilaporkan.

Audit Internal

Definisi Audit


Perusahaan didirikan dengan tujuan utama untuk memperoleh laba disamping beberapa tujuan lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka semua tahap kegiatan yang akan dilaksanakan harus direncanakan, dianalisa dan diteliti secara seksama terlebih dahulu oleh mereka yang bertanggung jawab. 
Audit Internal

Makin luas dan rumitnya masalah-masalah yang ada pada perusahaan, maka ruang lingkup dan luasnya tugas yang dipikul oleh manajemen semakin bertambah besar. Oleh karena itu manajemen memerlukan alat bantu yang dapat digunakan untuk mengendalikan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakannya. Salah satu alat bantu dalam melaksanakan fungsi utama manajemen, fungsi pengawasan dan pengendalian adalah aktivitas audit. Arens (2008:3) mendefinisikan pengertian audit sebagai berikut: Auditing adalah pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi itu dan kriteria yang telah ditetapkan. 

Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen, dalam melaksanakan audit harus tersedia informasi dalam bentuk yang dapat diverifikasi dan beberapa standar yang digunakan auditor untuk mengevaluasi informasi tersebut dan memiliki banyak bentuk. Para auditor secara rutin melakukan audit atas informasi yang dapat diukur termasuk laporan keuangan perusahaan dan SPT pajak penghasilan federal perorangan. Auditor juga mengaudit informasi yang lebih subjektif seperti efektifitas sistem komputer dan efisiensi operasi manufaktur.

Jenis-Jenis Audit 


Beberapa jenis audit dilakukan untuk memastikan bahwa proses operasi didalam perusahaan telah berjalan sesuai dengan peraturan dan kebijakan yang berlaku serta pengelolaan terhadap sumber daya dalam proses tersebut berjalan secara efektif dan efisien. 

Bayangkara (2011:2) mengemukakan terdapat beberapa jenis-jenis audit, yaitu: 
  1. Audit kepatuhan (compliance audit), auditor berusaha mendapatkan dan mengevaluasi informasi untuk menentukan apakah pengelolaan keuangan, operasi, atau aktivitas yang lain dari suatu entitas telah sesuai dengan kriteria, kebijakan, atau regulasi yang mendasarinya. 
  2. Audit Internal (audit internaling), auditor melakukan penilaian secara independen terhadap berbagai aktivitas dalam memberikan jasanya kepada perusahaan. Secara lengkap Institute of Audit Internalor (IIA) mendefinisikan Audit Internaling sebagai: An independent appraisal activity established within an organization to examine and evaluate its activities as a service to the organization. The object of Audit Internaling is to assist members in the organization in the effective discharge of their duties.

Tujuan Audit


Audit manajemen bertujuan untuk mengidentifikasi kegiatan, program dan aktivitas yang masih memerlukan perbaikan, sehingga dengan rekomendasi yang diberikan nantinya dapat dicapai perbaikan atas pengelolaan berbagai program dan aktivitas pada perusahaan tersebut. Berkaitan dengan tujuan ini titik berat audit diarahkan terutama pada berbagai objek audit yang diperkirakan dapat diperbaiki di masa yang akan datang, di samping juga mencegah kemungkinan terjadinya berbagai kerugian. Bayangkara (2011:4) menyatakan bahwa tujuan audit diantaranya, yaitu: 

Audit laporan keuangan, bertujuan menentukan apakah laporan keuangan audited telah disusun sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. 

Audit kepatuhan, bertujuan menentukan tingkat kepatuhan suatu entitas terhadap hukum, peraturan, kebijakan, rencana dan prosedur. 

Audit internal, bertujuan: 
  • Menilai keandalan laporan keuangan;
  • Menentukan tingkat kepatuhan suatu entitas terhadap hukum, peraturan, kebijakan, rencana dan prosedur;
  • Menilai pengendalian internal organisasi;
  • Menilai efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya; dan
  • Program peninjauan terhadap konsistensi hasil dengan tujuan organisasi.  

Audit operasional, bertujuan menilai efesiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya. 

     Ruang lingkup audit meliputi seluruh aspek kegiatan manajemen. Ruang lingkup ini dapat berupa seluruh kegiatan atau dapat juga hanya mencakup bagian tertentu dari program atau aktivitas yang dilakukan. Periode audit juga bervariasi, bisa untuk jangka waktu satu minggu, beberapa bulan, satu tahun, bahkan untuk beberapa tahun, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.  


Pengertian Audit Internal


Audit internal hanya terdapat dalam perusahaan yang relatif besar. Dalam perusahaan ini, pimpinan perusahaan membentuk banyak departemen, bagian, seksi, atau suatu organisasi yang lain dan mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada kepala–kepala unit organisasi tersebut. Menurut Tugiman (2006:11) pengertian audit internal yaitu suatu fungsi penilaian yang independen yang ada dalam suatu organisasi dengan tujuan untuk menguji dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan organisasi yang dilaksanakan.

Berdasarkan definisi diatas dapat dikatakan audit internal merupakan suatu kontrol organisasi yang mengukur dan mengevaluasi organisasi. Informasi yang dihasilkan, ditujukan untuk manajemen organisasi sendiri. Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan audit internal, terdapat istilah yang disebut auditor internal yang harus kita ketahui untuk dapat membedakan antara audit internal dengan auditor internal, sedangkan Suhayati dan Rahayu (2009:14) mengemukakan pengertian auditor internal sebagai berikut: 

Pegawai dari suatu organisasi/perusahaan yang bekerja di organisasi tersebut untuk melakukan audit bagi kepentingan manajemen perusahaan yang bersangkutan, dengan tujuan untuk membantu manajemen organisasi untuk mengetahui kepatuhan para pelaksana operasional organisasi terhadap kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh perusahaan.

Kumat (2011:35) mendefinisikan audit internal adalah sebagai berikut: 
Audit Internal adalah agen yang paling pas untuk mewujudkan Internal Control, Risk Management dan Good Corporate Governance yang pastinya akan memberi nilai tambah bagi sumber daya dan perusahaan. 

Agoes (2004:221) mengemukakan internal audit atau pemeriksaan intern adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan, baik terhadap laporan keuangan dan catatan akuntansi perusahaan, maupun ketaatan terhadap kebijakan manajemen puncak yang telah ditentukan dan ketaatan terhadap peraturan pemerintah dan ketentuan-ketentuan dari ikatan profesi yang berlaku. Peraturan pemerintah misalnya peraturan di bidang perpajakan, pasar modal, lingkungan hidup, perbankan, perindustrian, investasi dan lain-lain. Ketentuan-ketentuan dari ikatan profesi misalnya standar akuntansi keuangan.

Definisi audit internal menurut IIA (Institute of Internal Auditor) yang dikutip oleh Boynton (2006:980) yakni internal auditing is an independent, objective assurance and consulting activity designed to add value and improve an organization’s operations. It helps an organization accomplish its objectives by bringing a systematic, disciplined approach to evaluate and improve the effectiveness of risk management, control, and governance processes. 

Audit internal adalah aktivitas independen, keyakinan objektif, dan konsultasi yang dirancang untuk menambah nilai dan meningkatkan operasi organisasi. Audit internal ini membantu organisasi mencapai tujuannya dengan melakukan pendekatan sistematis dan disiplin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen resiko, pengendalian dan proses tata kelola.

Tugiman (2006:11) mengemukakan internal auditing atau pemeriksaan internal adalah suatu fungsi penilaian yang independen dalam suatu organisasi untuk menguji dan mengevaluasi kegiatan organisasi yang dilaksanakan, sedangkan menurut Mulyadi (2002:29), audit intern adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan (perusahaan negara maupun perusahaan swasta) yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi. 

IIA (Institute of Internal Auditor) memperkenalkan Standards for the Professional Practice of Internal auditing-SPPIA dikutip dari Sawyer (2006:8), audit internal adalah fungsi penilaian independen yang dibentuk dalam perusahaan untuk memeriksa dan mengevaluasi aktivitas-aktivitasnya sebagai jasa yang diberikan kepada perusahaan. Dari beberapa definisi diatas sudah jelas bahwa audit internal merupakan jaminan, independen, obyektif dan aktivitas konsultasi yang dirancang untuk menambah nilai dan meningkatkan operasi organisasi. Hal tersebut membantu organisasi mencapai tujuannya dengan membawa pendekatan yang sistematis dan disiplin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas proses manajemen risiko, pengendalian, dan proses governance.


Peran Auditor Internal


Audit internal merupakan aktivitas independen yang memberikan jaminan objektif dan konsultasi yang dirancang untuk memberi nilai tambah dan meningkatkan operasi organisasi. Aktifitas ini membantu organisasi mencapai tujuannya dengan membawa pendekatan yang sistematis dan disiplin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektifitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses tata kelola (The IIA Research Foundation, 2011:2). 

Audit internal dilaksanakan oleh pihak internal dalam organisasi yang dikenal dengan auditor internal. Mengingat pentingnya peran pengawasan terhadap tindak fraud, maka audit internal menjadi satu-satunya unit kerja yang paling tepat melakoninya. Karena itu, peran audit internal yang selama ini selalu berkaitan dengan urusan physical control harus sudah bergeser dari sekedar terkesan sebagai “provoost”. Perusahaan menjadi unit yang mampu berperan dalam pencegahan sekaligus pendeteksian fraud.

Auditor internal adalah pakar dalam tata kelola, manajemen risiko dan pengendalian intern. Audit internal berusaha untuk meningkatkan operasi organisasi dan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hal negatif termasuk pelaporan keuangan yang tidak dapat diandalkan. Auditor internal membantu manajemen dalam mendesain serta memelihara kecukupan dan efektifitas struktur pengendalian intern. Auditor internal juga bertanggungjawab untuk menilai kecukupan dan keefektifan dari masing-masing sistem pengendalian yang memberikan jaminan kualitas dan integritas dari proses pelaporan keuangan. 

Sesuai Interpretasi Standar Profesional Audit Internal (SPAI) standar 120.2 tahun 2004 (dalam Yuniarti, 2012), tentang pengetahuan mengenai penyimpangan, dinyatakan bahwa auditor internal harus memiliki pengetahuan yang memadai untuk dapat mengenali, meneliti dan menguji adanya indikasi penyimpangan. Selain itu, Statement on Internal Auditing Standards (SIAS) No. 3, tentang Deterrence, Detection, Investigation, and Reporting of Fraud (1985), memberikan pedoman bagi auditor internal tentang bagaimana melakukan pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian terhadap fraud. SIAS No. 3 tersebut juga menegaskan tanggung jawab auditor internal untuk membuat laporan audit tentang fraud.

Pusdiklatwas BPKP (2008:43) mengemukakan peran yang ideal bagi audit internal sebagai berikut: 
  1. Peran audit internal dalam pencegahan fraud 
  2. Peran audit internal dalam pendeteksian fraud 
Audit internal dituntut untuk waspada terhadap setiap hal yang menunjukkan adanya kemungkinan terjadinya fraud, yang mencakup: 
  1. Identifikasi titik-titik kritis terhadap kemungkinan terjadinya fraud. 
  2. Penilaian terhadap sistem pengendalian yang ada, dimulai sejak lingkungan pengendalian hingga pemantauan terhadap penerapan sistem pengendalian. 
Seandainya terjadi fraud, audit internal bertanggung jawab untuk membantu manajemen mencegah fraud dengan melakukan pengujian dan evaluasi keandalan dan efektivitas dari pengendalian, seiring dengan potensi risiko terjadinya fraud dalam berbagai segmen. Tidak hanya manajemen puncak, Audit internal juga harus mendapat sumber daya yang memadai dalam rangka memenuhi misinya untuk mencegah fraud. 

Tanggung jawab audit internal dalam rangka mendeteksi kecurangan, selama penugasan audit termasuk: 
  1. Memiliki pengetahuan yang memadai tentang kecurangan dalam rangka mengidentifikasi indikasi-indikasi yang mungkin terjadi dan dilakukan oleh anggota organisasi;
  2. Memiliki sensitivitas yang berkaitan dengan kemungkinan adanya kesempatan terjadinya kecurangan;
  3. Melakukan evaluasi terhadap indikator-indikator yang mungkin dapat memberikan peluang terjadinya kecurangan dan menentukan apakah perlu diadakan investigasi lanjutan;
  4. Menentukan prediksi awal terjadinya suatu kecurangan; dan
  5. Melakukan penilaian kembali terhadap pelaksanaan pengendalian di lingkungan dimana terjadinya tindak kecurangan dan selanjutnya menentukan upaya untuk memperkuat pengendalian didalammya. 
Audit internal adalah suatu penilaian, yang dilakukan oleh pegawai perusahaan yang terlatih mengenai ketelitian, dapat dipercayainya, efisiensi, dan kegunaan catatan-catatan (akutansi) perusahaan, serta pengendalian intern yang terdapat dalam perusahaan. Tujuannya adalah untuk membantu pimpinan perusahaan atau manajemen dalam melaksanakan tanggung jawabnya dengan memberikan analisa, penilaian, saran, dan komentar mengenai kegiatan yang di audit. Untuk mencapai tujuan tersebut, internal auditor melakukan kegiatan-kegiatan berikut:
  1. Menelaah dan menilai kebaikan, memadai tidaknya dan penerapan sistem pengendalian manajemen, struktur pengendalian intern dan pengendalian operasional lainnya serta mengembangkan pengendalian yang efektif dengan biaya yang tidak terlalu mahal;
  2. Memastikan ketaatan terhadap kebijakan, rencana dan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan oleh manajemen;
  3. Memastikan seberapa jauh harta perusahaan dipertanggungjawabkan dan dilindungi dari kemungkinan terjadinya segala bentuk pencurian, kecurangan dan penyalahgunaan;
  4. Memastikan bahwa pengelolaan data yang dikembangkan dalam organisasi dapat dipercaya;
  5. Menilai mutu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh manajemen; dan
  6. Menyarankan perbaikan-perbaikan operasional dalam rangka meningkatkan efisensi dan efektifitas.


Pengaruh Struktur Audit Internal 


Penelitian (James, 2003 dalam Aisyah) menunjukkan bahwa pengguna menganggap departemen audit internal yang melapor pada manajemen senior kurang mampu memberikan perlindungan terhadap adanya kecurangan dalam pelaporan keuangan dibandingkan dengan departemen in house yang melapor secara langsung kepada komite audit dan tim audit internal yang di outsource yang melapor pada komite audit. Persepsi pengguna bahwa struktur pelaporan audit internal mempengaruhi kecenderungan pencegahan, pendeteksian dan pelaporan terhadap kecurangan disebabkan pelaporan audit internal kepada manajemen memungkinkan manajemen untuk membatasi ruang lingkup prosedur audit yang dilakukan. 

Hal ini menunjukkan perlunya objektivitas fungsi internal audit melalui struktur pelaporan yang lebih kuat, yakni dengan tanggung jawab pengawasan fungsi internal audit secara langsung oleh komite audit. Pengaturan pelaksana fungsi audit internal juga merupakan faktor yang cukup penting. Sarbanes Oxley Act melarang penugasan audit internal kepada kantor akuntan publik yang juga mengaudit laporan keuangan perusahaan tersebut, namun mengijinkan penugasan audit internal kepada kantor akuntan lainnya. 

Peningkatan keahlian audit melalui outsourcing ternyata tidak mempengaruhi kepercayaan terhadap fungsi audit internal karena tim audit eksternal dianggap tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang perusahaan secara mendalam seperti yang dimiliki departemen audit internal perusahaan tersebut. 

Hal lain yang banyak menjadi perhatian adalah tentang komposisi dewan direktur, khususnya terkait dengan keberadaan komite audit yang mempengaruhi kemungkinan terjadinya kecurangan dalam pelaporan keuangan perusahaan. (Uzun, 2004 dalam Aisyah) juga mengemukakan bahwa struktur dewan direktur dan dewan komite mempengaruhi terjadinya kecurangan dalam perusahaan. Semakin tinggi proporsi direktur independen dari luar perusahaan, semakin kecil pula kecenderungan terjadinya kecurangan dalam perusahaan.


Tanggung Jawab Auditor Terhadap Fraud 


PSA 32 (SA 316.05, dalam Aisyah) menetapkan bahwa tanggung jawab auditor dalam kaitannya dengan kekeliruan (error) dan ketidakberesan (irregularities) adalah sebagai berikut: 
  1. Menentukan risiko bahwa suatu kekeliruan dan ketidakberesan kemungkinan menyebabkan laporan keuangan berisi salah saji material;
  2. Berdasarkan penentuan ini, auditor harus merancang auditnya untuk memberikan keyakinan memadai bagi pendeteksian kekeliruan dan ketidakberesan;
  3. Melaksanakan audit dengan seksama dan tingkat skeptisme professional yang semestinya dan menilai temuannya. 
Terdapat dugaan bahwa jika hal tersebut dilaksanakan, maka akan banyak salah saji material yang akan ditemukan. Namun dalam SA 316.08 (dalam Aisyah) disebutkan bahwa karena pendapat auditor atas laporan keuangan didasarkan pada konsep keyakinan memadai (reasonable assurance), maka laporan keuangan bukanlah suatu jaminan. Dengan demikian kegagalan mendeteksi salah saji material dalam laporan keuangan tidak dengan sendirinya menunjukkan audit tidak dilakukan sesuai dengan standar auditing. Kadang-kadang terjadi, bahwa walaupun audit telah dirancang dan dilaksanakan dengan seksama, namun tidak dapat mendeteksi adanya kecurangan apabila manajemen, karyawan dan pihak ketiga bersekongkol untuk menyesatkan auditor dengan membuat dokumen dan catatan palsu.

Auditor berkewajiban untuk mengkomunikasikan setiap ketidakberesan material yang ditemukan selama audit kepada komite audit. Pada dasarnya, auditor tidak berkewajiban untuk mengungkapkan ketidakberesan material yang ditemukan kepada pihak-pihak di luar klien. Kode etik akuntan yang disusun IAI (2009: 36) mengharuskan auditor untuk menjaga kerahasiaan kliennya. Biasanya auditor dapat mengungkapkan ketidakberesan hanya apabila hal itu berpengaruh terhadap pendapatnya atas laporan keuangan yang diperiksa. Namun dalam keadaan tertentu di bawah ini, auditor berkewajiban untuk mengungkapkan ketidakberesan yang diketahui dalam auditnya kepada pihak selain klien, yaitu:
  1. Jika menerima pertanyaan dari auditor pengganti sesuai dengan SA Seksi 315 (PSA no. 16), komunikasi antara auditor pendahulu dengan auditor pengganti. 
  2. Sebagai suatu jawaban atas permintaan pengadilan dalam suatu perkara pidana. 
Jika auditor menyimpulkan bahwa laporan keuangan mengandung salah saji karena adanya kekeliruan dan ketidakberesan, maka auditor harus mendesak manajemen klien untuk merevisi laporan keuangan tersebut. Apabila hal ini dipatuhi oleh manajemen, maka auditor bisa menerbitkan laporan bentuk baku dengan pendapat wajar tanpa pengecualian. Namun jika laporan keuangan tidak direvisi, maka auditor hanya dapat memberikan pendapat wajar dengan pengecualian atau pendapat tidak wajar. Jika klien menolak untuk menerima laporan audit yang telah dimodifikasi, maka auditor harus menarik diri dari penugasan dan mengkomunikasikan alasan penarikan dirinya kepada komite audit atau dewan komisaris atau pihak lain yang setara (Jusuf, 2001). 

Fraud dalam perusahaan sebenarnya merupakan tanggungjawab manajemen untuk mencegah dan menghalanginya dengan menyusun suatu lingkungan pengendalian yang positif dan aktivitas pengendalian yang memadai. Namun demikian sesuai harapan masyarakat terhadap peran auditor, sekaligus adanya kemungkinan manajemen melakukan fraud untuk kepentingan pribadinya, maka auditor mempunyai tanggungjawab untuk menemukan dan mengungkapkan kecurangan yang terjadi dalam perusahaan. Namun demikian tanggung jawab ini sebenarnya masih terbatas untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun kecurangan. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara audit laporan keuangan dan fraud audit. Penugasan audit laporan keuangan bertujuan untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. Fraud audit dilakukan dalam penugasan terpisah dari audit atas laporan keuangan yang dilakukan sesuai dengan GAAS. Dalam fraud audit, seringkali telah terdapat dugaan terjadinya kecurangan atau suatu kecurangan memang telah ditemukan. Akuntan diberi penugasan untuk mengumpulkan bukti atau untuk bertindak sebagai saksi ahli dalam kaitannya dengan proses peradilan atas kecurangan tersebut. Auditor tidak diminta untuk memberikan opini mengenai laporan keuangan secara keseluruhan (Jane Mancino, 1997 dalam Halim, 2003)


Tujuan Audit Internal 


Hery (2010:39) mengemukakan tujuan dari audit internal adalah audit internal secara umum memiliki tujuan untuk membantu segenap anggota manajemen dalam menyelesaikan tanggung jawab mereka secara efektif, dengan memberi mereka analisis, penilaian, saran dan komentar yang objektif mengenai kegiatan atau hal-hal yang diperiksa. Untuk mencapai keseluruhan tujuan tersebut, maka auditor harus melakukan beberapa aktivitas sebagai berikut: 
  1. Menelaah dan menilai kebaikan, memadai tidaknya dan penerapan sistem pengendalian manajemen, struktur pengendalian intern, dan pengendalian operasional lainnya serta mengembangkan pengendalian yang efektif dengan biaya yang tidak terlalu mahal;
  2. Memastikan ketaatan terhadap kebijakan, rencana dan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan oleh manajemen;
  3. Memastikan seberapa jauh harta perusahaan dipertanggungjawabkan dan dilindungi dari kemungkinan terjadinya segala bentuk pencurian, kecurangan dan penyalahgunaan;
  4. Memastikan bahwa pengelolaan data yang dikembangkan dalam organisasi dapat dipercaya;
  5. Menilai mutu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh manajemen; dan
  6. Menyarankan perbaikan-perbaikan operasional dalam rangka meningkatkan efisensi dan efektifitas.
Adapun aktivitas dari audit internal yang disebutkan di atas digolongkan kedalam dua macam, diantaranya:

a) Financial Auditing 
Kegiatan ini antara lain mencakup pengecekan atas kecermatan dan kebenaran segala data keuangan, mencegah terjadinya kesalahan atau fraud dan menjaga kekayaan perusahaan. 

b) Operational Auditing 
Kegiatan pemeriksaan ini lebih ditujukan pada operasional untuk dapat memberikan rekomendasi yang berupa perbaikan dalam cara kerja, sistem pengendalian dan sebagainya.

Peranan Audit Internal 


Mengingat pentingnya peran pengawasan terhadap tindak fraud, maka audit internal menjadi satu-satunya unit kerja yang paling tepat melakoninya. Karena itu, peran Audit Internal yang selama ini selalu berkaitan dengan urusan physical control harus sudah bergeser dari sekedar terkesan sebagai provoost perusahaan menjadi unit yang mampu berperan dalam pencegahan sekaligus pendeteksian fraud. Menurut Pusdiklatwas BPKP (2008:43) peran yang ideal bagi audit internal yaitu sebagai berikut: 
  1. Peran audit internal dalam pencegahan fraud; dan 
  2. Peran audit internal dalam pendeteksian fraud 
Audit internal dituntut untuk waspada terhadap setiap hal yang menunjukkan adanya kemungkinan terjadinya fraud, yang mencakup: 
  1. Identifikasi titik-titik kritis terhadap kemungkinan terjadinya fraud; dan
  2. Penilaian terhadap sistem pengendalian yang ada, dimulai sejak lingkungan pengendalian hingga pemantauan terhadap penerapan sistem pengendalian. 
Seandainya terjadi fraud, audit internal bertanggung jawab untuk membantu manajemen mencegah fraud dengan melakukan pengujian dan evaluasi keandalan dan efektivitas dari pengendalian, seiring dengan potensi risiko terjadinya fraud dalam berbagai segmen. Tidak hanya manajemen puncak, audit internal juga harus mendapat sumber daya yang memadai dalam rangka memenuhi misinya untuk mencegah fraud. Tanggung jawab audit internal dalam rangka mendeteksi kecurangan, selama penugasan audit termasuk: 
  1. Memiliki pengetahuan yang memadai tentang kecurangan, dalam rangka mengidentifikasi indikasi-indikasi yang mungkin terjadi dan dilakukan oleh anggota organisasi; 
  2. Memiliki sensitivitas yang berkaitan dengan kemungkinan adanya kesempatan terjadinya kecurangan;
  3. Melakukan evaluasi terhadap indikator-indikator yang mungkin dapat memberikan peluang terjadinya kecurangan dan menentukan apakah perlu diadakan investigasi lanjutan;
  4. Menentukan prediksi awal terjadinya suatu kecurangan; dan 
  5. Melakukan penilaian kembali terhadap pelaksanaan pengendalian di lingkungan dimana terjadinya tindak kecurangan dan selanjutnya menentukan upaya untuk memperkuat pengendalian didalammya.

Sumber Pustaka Audit Internal :

  1. Agoes, Sukrisno. 2004. Auditing. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
  2. Aisyah, Mimin Nur. Peningkatan Peran Auditor dalam Pencegahan dan Pendeteksian Fraud. JPAI, Volume V No.1
  3. Amiruddin., Sri Sundari. Fraud: Bagaimana Mendeteksinya. 
  4. Association of Certified Fraud Examiners. (2010). Report to The Nation on Occupational Fraud and Abuse. ACFE 
  5. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). 2009. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat Institute Internal Auditors (IIA). 2011. International Professional Practices Framework. USA: The Institute of Internal Auditors.
  6. Sawyer, B, Lawrence. Dittenhofer A. Mortimer., dan Scheiner H, James. 2006. Internal Auditing. Jakarta: Salemba Empat