Friday, March 13, 2015

Pengaruh Skeptisme Profesional dan Independensi Terhadap Pemberian Opini Auditor

Definisi Opini Auditor


Ardiyos (2014:661) dalam Kamus Besar Akuntansi menulis pengertian opini auditor sebagai “laporan yang dibuat oleh pemeriksa (auditor) setelah memeriksa penemuan-penemuan yang berkenaan dengan laporan keuangan suatu perusahaan”.

Pengaruh Skeptisme Profesional dan Independensi Terhadap Pemberian Opini Auditor
Opini audit diberikan oleh auditor melalui beberapa tahap audit sehingga auditor dapat memberikan kesimpulan atas opini yang harus diberikan atas laporan keuangan yang diauditnya. Pemberian opini oleh auditor atas laporan keuangan yang diperiksanya tergantung pada beberapa hal. Salah satu hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam proses audit yaitu tingkat materialitas informasi yang terdapat dalam laporan keuangan. Informasi dianggap material jika dengan tidak diungkapkannya informasi tersebut dapat mempengaruhi pengguna laporan keuangan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Untuk menentukan materialitas suatu pos maka besaran dan sifat unsur tersebut harus dianalisis dimana masing-masing dapat menjadi faktor penentu.  

Mulyadi (2002:19) dalam buku Auditing mengatakan bahwa:
Auditor menyatakan pendapatnya mengenai kewajaran laporan keuangan entitas yang diperiksanya dalam semua hal yang material, yang didasarkan atas kesesuaian penyusunan laporan keuangan tersebut dengan prinsip akuntansi berterima umum. 

Jika auditor tidak dapat mengumpulkan bukti kompeten yang cukup atau jika hasil pengujian auditor menunjukkan bahwa laporan keuangan yang diauditnya disajikan tidak wajar, maka auditor perlu menerbitkan laporan audit selain laporan yang berisi pendapat wajar tanpa pengecualian.

Dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (2007:45) dikatakan bahwa untuk pemeriksaan keuangan, Standar Pemeriksaan memberlakukan empat standar pelaporan SPAP yang ditetapkan IAI berikut:
  1. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuanga disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau prinsip akuntansi yang lain yang berlaku secara komprehensif.
  2. Laporan auditor harus menunjukkan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. 
  3. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit.
  4. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul auditor.

Jenis-jenis Opini Aditor


Institut Akuntan Publik Indonesia dalam Standar Profesional Akuntan Publik SA Seksi 508 PSA No. 29 (2011:508.6) mengatakan bahwa ada berbagai tipe pendapat yang diberikan oleh auditor atas laporan keuangan yang diperiksanya. Tipe yang pertama yaitu pendapat wajar tanpa pengecualian. Pendapat wajar tanpa pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Tipe yang kedua yaitu bahasa penjelasan ditambahkan dalam laporan auditor bentuk baku. Keadaan tertentu mungkin mengharuskan auditor menambahkan suatu paragraf penjelasan (atau bahasa penjelasan yang lain) dalam laporan auditnya.

Tipe selanjutnya yaitu pendapat wajar dengan pengecualian yang menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan. Kemudian pendapat tidak wajar yang menyatakan bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Tipe yang terakhir yaitu pernyataan tidak memberikan pendapat. Pernyataan tidak memberikan pendapat menyatakah bahwa auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan.

Secara umum ada lima jenis opini auditor dalam laporan auditing antara lain:  

1. Pendapat wajar tanpa pengecualian

Bentuk laporan auditing yang paling umum adalah laporan auditing dengan pendapat wajar tanpa pengecualian. Halim dalam Auditing 2 : Dasar-dasar Prosedur Pengauditan Laporan Keuangan (2004: 267) mengatakan bahwa:
Pendapat wajar tanpa pengecualian dapat diberikan auditor apabila audit telah dilaksanakan atau diselesaikan sesuai dengan standar pengauditan, penyajian laporan keuangan dengan prinsip akuntansi yang berterima umum, dan tidak terdapat kondisi atau keadaan tertentu yang memerlukan bahasa penjelas.
Pendapat wajar tanpa pengecualian ini dikeluarkan apabila auditor menganggap bahwa laporan keuangan telah disajikan  secara wajar. Laporan keuangan harus menyajikan secara wajar posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas suatu perusahaan. Menurut Greuning (2005:21):
Penyajian wajar mensyaratkan penyajian yang jujur atas akibat transaksi, peristiwa lain, dan kondisi sesuai dengan definisi dan kriteria pengakuan atas aktiva, kewajiban, penghasilan, dan beban yang ditetapkan dalam kerangka dasar

2. Pendapat wajar tanpa pengecualain dengan kalimat penjelas

Dalam situasi tertentu, laporan audit wajar tanpa pengecualian diterbitkan, kata-kata yang digunakan menyimpang dari laporan wajar tanpa pengecualian bentuk standar. Laporan ini harus dibedakan dari laporan wajar dengan pengecualian, laporan tidak wajar, dan laporan tidak memberikan pendapat.

Mulyadi dalam buku Auditing (2002:418-419) mengatakan bahwa:

Ada dua jenis kalimat penjelasan yang terdapat dalam pendapat wajar tanpa pengecualian dengan kalimat penjelas yaitu: 
a. Paragraf penjelasan karena ketidak konsistenan penerapan prinsip akuntansi.
b. Paragraf penjelasan karena keraguan tentang kelangsungan hidup entitas.

Berbagai penyebab paling penting dari penambahan paragraf penjelas atau modifikasi kata di laporan wajar tanpa pengecualian yaitu antara lain: tidak ada konsistensi, ketidakpastian yang material, keraguan atas kelangsungan hidup perusahaan, setuju dengan penyimpangan standar akuntansi yang berlaku, penekanan atas suatu hal, dan laporan yang melibatkan auditor lain. 

3. Pendapat wajar dengan pengecualian

Pendapat wajar dengan pengecualian dapat diberikan baik karena adanya pembatasan ruang lingkup audit atau tidak ditaatinya standar akuntansi yang berlaku umum.

Mayangsary (2013:28) mengatakan bahwa:
Pendapat wajar dengan pengecualian hanya dapat digunakan jika auditor yakin bahwa laporan keuangan secara keseluruhan telah disajikan secara wajar. Jika auditor merasa bahwa kondisi yang dilaporkannya cukup parah, maka pernyataan tidak memberikan pendapat, atau pendapat tidak wajar harus dibuat. 

Oleh karena itu, pendapat wajar dengan pengecualian dianggap sebagai bentuk pengungkapan yang paling lunak diantara semua penyimpangan dari laporan wajar tanpa pengecualian.

4. Pendapat tidak wajar

Pendapat tidak wajar hanya diberikan jika auditor merasa yakin bahwa keseluruhan laporan keuangan yang disajikan memuat salah saji yang material atau menyesatkan sehingga tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan atau hasil operasi perusahaan sesuai denggan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Mulyadi dalam Auditing (1998:20) mengatakan bahwa:
Auditor memberikan pendapat tidak wajar jika ia tidak dibatasi lingkup auditnya, sehingga ia dapat mengumpulkan bukti kompeten yang cukup untuk mendukung pendapatnya. Jika laporan keuangan diberi pendapat tidak wajar oleh auditor, maka informasi yang disajikan oleh klien dalam laporan keuangan sama sekali tidak dapat dipercaya, sehingga tidak dapat dipakai oleh pemakai laporan keuangan untuk pengambilan keputusan.

5. Pernyataan tidak memberikan pendapat

Suatu pernyataan tidak memberikan pendapat dilakukan jika auditor tidak berhasil untuk menyakinkan dirinya sendiri bahwa keseluruhan laporan keuangan yang disajikan secara wajar. Menurut Halim (2004:269), “pernyataan auditor untuk tidak memberikan pendapat layak diberikan apabila ada pembatasan lingkup audit yang sangat material baik oleh klien maupun karena kondisi tertentu dan auditor tidak independen terhadap klien”.

Pernyataan ini dapat diberikan apabila auditor yakin bahwa terdapat penyimpangan yang material dari prinsip akuntansi berterima umum. Auditor tidak diperkenankan mencantumkan paragraf lingkup audit apabila auditor menyatakan untuk tidak memberikan pendapat. Auditor harus menyatakan alasan mengapa auditnya tidak berdasarkan standar pengauditan yang ditetapkan IAI dalam satu paragraf khusus sebelum paragraf pendapat.

Menurut Mulyadi (2002:424) jika lingkup audit yang dilaksanakan oleh auditor tidak memadai untuk auditor memberikan pendapat, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh auditor:

  1. Dalam paragraf pengantar, auditor melakukan perubahan frasa” Kami telah mengaudit neraca perusahaan KXT..... “ menjadi “ Kami telah membuat perikatan untuk mengaidit neraca perusahaan KXT.....” Hal ini dilakukan untuk menjelaskan bahwa auditor tidak melaksanakan audit sebagaimana yang disyaratkan dalam standar pekerjaan lapangan.
  1. Paragraf lingkup audit tidak dicantungkan dalam laporan audit karena pembatasan terhadap lingkup audit telah mengakibatkan auditor tidak dapat menyatakan bahwa audit yang dilaksanakan oleh auditor sesuai dengan standar auditing yang ditetapkan oleh Ikatan Akutan Indonesia.
  1. Menjelaskan dalam satu paragraf tentang alasan yang menyebabkan auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan klien. 

Skeptisme Profesional Auditor


Institut Akuntan Publik Indonesia dalam Standar Profesional Akuntan Publik SA Seksi 230 PSA No. 04 (2011:230.1) mendefinisikan skeptisme profesional sebagai “sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis bukti audit”. Auditor menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh profesi akuntan publik untuk melaksanakan dengan cermat dan seksama, dengan maksud baik dan integritas, pengumpulan dan penilaian bukti audit secara objektif.

Dalam kamus besar bahasa indonesia (2008:1324) skeptisme diartikan sebagai “aliran atau paham yang memandang sesuatu selalu tidak pasti, meragukan, dan mencurigakan”. Sikap skeptisme profesional auditor sangat dibutuhkan untuk penilaian yang kritis  terhadap bukti-bukti audit, yaitu auditor harus memiliki pikiran yang selalu mempertanyakan kehandalan dokumen-dokumen yang diperoleh dari pihak manajemen dan juga mempertimbangkan kecukupan dan kesesuaian bukti yang diperoleh.

Pengumpulan dan penilaian bukti audit secara objektif menuntut auditor mempertimbangkan kompetensi dan kecukupan bukti tersebut. Oleh karena bukti dikumpulkan dan dinilai selama proses audit maka skeptisme profesional harus digunakan selama proses tersebut. Auditor tidak boleh menganggap bahwa manajemen adalah tidak jujur, namun juga tidak boleh menganggap bahwa kejujuran manajemen tidak dipertanyakan lagi. Auditor juga tidak boleh merasa puas dengan bukti-bukti yang kurang persuasif karena keyakinannya atas kejujuran manajemen.

Sikap skeptisme profesional juga erat hubungannya dengan sikap kehati-hatian profesional. Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan. Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada publik (Mulyadi, 2002:58). Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk merencanakan dan mengawasi secara saksama setiap kegiatan profesinal yang menjadi tanggng jawabnya. 


Independensi     

Agoes dan Ardana (2009:186) mendefinisikan independen sebagai “sikap tidak memihak serta tidak dibawah pengaruh atau tekanan pihak tertentu dalam mengambil keputusan atau tindakan”. Sedangkan menurut Arens dan Loebbecke (1997:80), independensi adalah “cara pandang yang tidak memihak didalam pengujian audit, hasil evaluasi audit, dan pembuatan laporan keuangan”.

Pernyataan standar umum kedua yang diatur dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (2007:24) berbunyi:
Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya.
Dengan pernyataan standar umum kedua ini, organisasi pemeriksa dan para pemeriksanya bertanggung jawab untuk dapat mempertahankan independensinya sedemikian rupa, sehingga pendapat, simpulan, pertimbangan atau rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tidak memihak dan dipandang tidak memihak oleh pihak manapun. Pemeriksa perlu mempertimbangkan tiga macam gangguan terhadap independensi, yaitu gangguan pribadi, ekstern, dan atau organisasi. Apabila satu atau lebih dari gangguan independensi tersebut mempengaruhi kemampuan pemeriksa secara individu dalam melaksanakan tugas pemeriksaannya, maka pemeriksa tersebut harus menolak penugasan pemeriksaan. Dalam keadaan pemeriksa yang karena suatu hal tidak dapat  menolak penugasan pemeriksaan, gangguan dimaksud harus dimuat dalam bagian lingkup pada laporan hasil pemeriksaan.

Independensi juga diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik, SA Seksi 220 PSA No. 04 standar umum kedua berbunyi “dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor”. Standar ini mengharuskan auditor bersikap independen, artinya tidak mudah dipengaruhi, karena auditor melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (dibedakan dalam hal auditor berpraktek sebagai auditor intern). Dengan demikian, auditor tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapa pun, sebab bagaimana pun sempurnanya keahlian teknis yang auditor miliki, ia akan kehilangan sikap tidak memihak, yang justru sangat penting untuk mempertahankan kebebasan pendapatnya.

Auditor dalam melaksanakan pemeriksaan memperoleh kepercayaan dari klien dan para pemakai laporan keuangan untuk membuktikan kewajaran laporan keuangan yang disusun dan disajikan oleh klien. Oleh karena itu, dalam memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diperiksa, seorang auditor harus bersikap independen terhadap kepentingan klien, para pemakai laporan keuangan, maupun terhadap kepentingan organisasi tertentu.

Seorang auditor harus indipenden dari setiap kewajiban atau independen dari kepemilikan kepentingan dalam entitas yang diauditnya. Disamping itu, auditor tidak hanya berkewajiban mempertahankan sikap independen, tetapi ia harus pula menghindari keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan masyarakat meragukan independensinya. Dengan demikian disamping auditor harus benar-benar independen, ia juga harus menimbulkan persepsi dikalangan masyarakat bahwa ia benar-benar independen. Menurut Mulyadi (1998:26), dalam kenyataanya auditor seringkali menemui kesulitan dalam mempertahankan sikap mental independen. Keadaan yang seringkali mengganggu sikap mental independen auditor adalah sebagai berikut:

  1. Sebagai seseorang yang melakukan audit secara independen, auditor dibayar oleh kliennya atas jasanya tersebut.
  2. Sebagai penjual jasa seringkali auditor mempunyai kecenderungan untuk memuaskan keinginan kliennya.
  3. Mempertahankan sikap mental independen seringkali dapat menyebabkan lepasnya klien.


Sumber :

Ardiyos. 2014. Kamus Besar Akuntansi. Jakarta: Citra Harta Prima.

Arens, Alvin A dan Loebbecke, James K. 1997. Auditing. Jakarta : Salemba Empat.

Greuning, Hennie V. 2005. Standar Pelaporan Keuangan Internasional: Pedoman Praktis. Jakarta: Salemba Empat.

Halim, Abdul dan Totok, B.S. 2004. Auditing 2 : Dasar-dasar Prosedur Pengauditan Laporan Keuangan Edisi Ketiga. Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN.

Mayangsari, Sekar dan Puspa Wandanarum. 2013. Auditing. Jakarta: Media Bangsa.

Mulyadi. 2002. Auditing, Buku Dua Edisi ke Enam. Jakarta: Salemba Empat.

No comments:

Post a Comment