Apabila ditilik dari proses perkembangan hukum dalam sejarah terhadap hubungan dengan eksistensi dan peranan dari kesadaran hukum masyarakat ini dalam tubuh hukum positif, terdapat suatu proses pasang surut dalam bentangan waktu yang teramat panjang. Hukum-hukum masyarakat primitif jelas merupakan hukum yang sangat berpengaruh, bahkan secara total merupakan penjelmaan dari kesadaran hukum masyarakatnya. Dalam hal ini, eksistensi dan pentingnya peranan kesadaran hukum masyarakat sangat penting. Meskipun terdapat juga kodifikasi kuno yang sekuler, seperti Kitab Undang-Undang Hammurabi di Babilonia (sekitar 2.000 tahun sebelum Masehi) atau Kitab Undang-Undang Dua Belas Pasal (The Twelve Tables) di Romawi (sekitar 400 tahun sebelum Masehi), tetapi ketentuan-ketentuan dalam kitab undang-undang tersebut dipercaya sebagai penjelmaan dari kehendak dan kepercayaan masyarakat tentang perbuatan baik atau buruk dan perbuatan yang dilarang atau diperbolehkan. Jadi, ketentuan-ketentuan dalam kitab undang-undang kuno yang sekuler tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai hal yang sesuai dengan kesadaran hukumnya.
Kemudian, ketika berkembangnya paham scholastic yang dipercaya hukum berasal dari perintah Tuhan (Abad Pertengahan) dan berkembangnya mazhab hukum alam modern (abad ke-18 dan ke-19), yang mengultuskan rasio manusia, eksistensi dan peranan kesadaran penting sangat kecil. Dalam hal ini, kesadaran hukum tidak penting bagi hukum. Yang terpenting adalah titan Tuhan, sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab suci (mazhab scholastik) atau hasil renungan manusia dengan menggunakan rasionya (mazhab hukum alam modern).
Selanjutnya, ketika berkembangnya paham-paham sosiologi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang masuk juga ke dalam bidang hukum, masalah kesadaran hukum masyarakat mulai lagi berperan dalam pembentukan, penerapan, dan penganalisisan hukum. Dengan demikian, terhadap hukum dalam masyarakat maju berlaku ajaran yang disebut de¬ngan co-variant theory. Teori ini mengajarkan bahwa ada kecocokan antara hukum dan bentuk-bentuk perilaku hukum. Di samping itu, berlaku juga doktrin Volksgeist (jiwa bangsa) dan rechtsbewustzijn (kesadaran hukum) sebagaimana yang diajarkan oleh Eugen Ehrlich, misalnya. Doktrin-doktrin tersebut mengajarkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan jiwa bangsa/kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum dipandang sebagai mediator antara hukum dan bentuk-bentuk perilaku manusia dalam masyarakat.
Menurut Prof. Soerjono Soekanto (Dalam Munir Fuadi, 2007), ada empat indikator yang membentuk kesadaran hukum yang secara berurutan (tahap demi tahap), yaitu:
1. Pengetahuan Hukum
Dalam hal ini, merupakan pengetahuan seseorang berkenaan dengan perilaku tertentu yang diatur oleh hukum tertulis, yakni tentang apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan.
2. Pemahaman Hukum
Yang dimaksudkan adalah bahwa sejumlah informasi yang dimiliki oleh seseorang mengenai isi dari aturan hukum (tertulis), yakni me-ngenai isi, tujuan, dan manfaat dari peraturan tersebut.
3. Sikap Hukum (Legal Attitude)
Merupakan suatu kecenderungan ;untuk menerima atau menolak hukum karena adanya penghargaan atau keinsafan bahwa hukum tersebut bermanfaat atau tidak bermanfaat bagi kehidupan manusia, Dalam hal ini, sudah ada elemen apresiasi terhadap aturan hukum.
4. Pola Perilaku Hukum
Yang dimaksudkan adalah tentang berlaku atau tidaknya suatu aturan hukum dalam masyarakat. Jika berlaku suatu aturan hukum, se-jauh mana berlakunya itu dan sejauh mana masyarakat mematuhinya. (Otje Salman, 2004: 56).
Berikutnya, Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa “efektivitas hukum” dalam masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor berikut:
1. Faktor Hukumnya Sendiri
Yakni apakah hukumnya memenuhi syarat yuridis, sosiologis, dan filosofis.
2. Faktor Penegak Hukum
Yakni apakah para penegak hukum sudah betul-betul melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik.
3. Faktor Fasilitas
Yakni, misalnya, apakah prasarana sudah mendukung dalam proses penegakan hukum.
4. Faktor Kesadaran Hukum Masyarakat
Dalam hal ini, apakah, misalnya, masyarakat tidak main hakim sendiri terhadap para penjahat.
5. Faktor Budaya Hukum
Dalam hal ini, adanya budaya "malu" atau budaya perasaan bersalah dari warga masyarakat (Soerjono Soekanto, 2004: 8).
No comments:
Post a Comment