Wednesday, February 4, 2015

Perlunya Pemahaman Guru Terhadap Keadaan Siswa

Pendahuluan

Interaksi belajar mengajar merupakan suatu kegiatan yang berproses antara guru dengan siswa yang di dalamnya guru melaksanakan pengajaran dan siswa menerima pelajaran. Apabila dalam proses  belajar-mengajar guru yang selalu aktif memberi informasi kepada siswa, sedangkan siswa hanya pasif mendengarkan keterangan guru atau tidak ada reaksi terhadap keterangan guru, maka hal yang demikian itu sebenarnya tidak terjadi interaksi proses belajar mengajar, disinilah perlunya pemahaman guru terhadap keadaan siswa ketika proses belajar-mengajar.

Sering terjadi guru yang menyampaikan materi pelajaran kepada siswa dengan tujuan agar terjadi proses belajar pada siswa, malahan terjadi sebaliknya, yakni siswa tidak melibatkan diri secara aktif dalam proses belajar, tetapi hanya sekadar memperhatikan dan mencatat informasi tanpa ada keinginan untuk mau mengerti materi itu, Dia memperhatikan dan mencatat keterangan guru hanya karena merasa terancam dan takut kalau gurunya mengetahui bahwa dirinya kurang tertarik pada materi pelajaran yang disampaikan guru. Kadang-kadang siswa berusaha berbuat sesuatu agar gurunya merasa senang, misalnya anak menganggukkan kepalanya apabila guru sedang asyik menerangkan, dan anehnya guru pun ikut merasa puas dan merasa sudah berhasil menyajikan materi pelajaran jika siswa sudah menganggukkan kepala. Keadaan seperti inilah yang seharusnya dihindari oleh guru, seharusnya dalam proses belajar-mengajar pemahaman guru terhadap keadaan siswa adalah hal utama yang perlu diperhatikan.

Dalam keadaan yang demikian itu, guru tidak menyadari bahwa dirinya tertipu oleh anggukan kepala siswa yang pandai memanfaatkan situasi yang tepat. Akibatnya, setelah proses belajar-mengajar selesai guru merasa kecewa karena hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dengan perkataan lain, proses belajar-mengajar tidak mencapai tujuan instruksional khusus yang telah ditetapkan.

Untuk mengantisipasi hal itu, diharapkan adanya saling percaya antara guru dengan siswa dalam interaksi belajar-mengajar, perlunya pemahaman guru terhadap keadaan siswa di dalam proses belajar-mengajar sehingga antara guru dan siswa ada keseragaman dalam bertindak dan tidak ada lagi saling membohongi. Guru harus mempercayai bahwa siswa-siswanya adalah individu yang dapat dididik dan mempunyai potensi untuk berkembang. Oleh karena itu, guru harus dapat memahami siswa-siswa, baik sebagai individu yang mempunyai beberapa perbedaan maupun sebagai makhluk sosial.

Di samping adanya sikap saling mempercayai antara guru dengan siswa, maka dalam interaksi belajar-mengajar perlu pula adanya motivasi. Motivasi merupakan dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan suatu kegiatan belajar. Seorang siswa melakukan kegiatan belajar jika materi pelajaran yang disampaikan guru menarik perhatian dan minatnya, serta didasarkan pada suatu kebutuhan. Itulah sebabnya motivasi tidak terlepas dengan risalah kebutuhan fisik dan psikologis siswa.

Atas dasar itulah maka guru dalam proses belajar-mengajar harus mengenal siswa, mengenal psikologi anak, dan mengenal perkembangan dan kematangan anak. Hal ini dimaksudkan agar dalam proses belajar-mengajar guru menjadikan siswa sebagai pusat perhatiannya. Dengan demikian, diharapkan tujuan pendidikan dapat tercapai.

Keharusan Siswa Mentaati Tata Tertib Sekolah

Agar proses belajar-mengajar dapat berlangsung sesuai yang diharapkan, maka setiap sekolah membuat peraturan tata tertib. peraturan tata tertib itu dilengkapi dengan sanksi-sanksi tertentu, yang berpuncak kepada pemberian hukuman.

Bagi siswa yang hidup longgar dari peraturan tata tertib dalam keluarga, akan mereaksi negatif terhadap peraturan tata tertib tersebut. Reaksi negatif itu timbul karena siswa merasakan peraturan tata tertib tersebut sangat berat baginya. Reaksi tersebut biasa juga dinamakan frustasi, yakni perasaan tidak puas karena keinginan terhalang.

Untuk mengatasi frustasi tersebut bermacam-macam cara dilakukan oleh siswa. Adapun cara-cara tersebut antara lain agresi langsung, agresi tidak langsung, mengundurkan diri, gangguan psikosomatis, rasionalisasi, dan regressi. Keenam hal tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 
  1. Agresi langsung adalah sikap relawan dengan rasa marah terhadap penghalang kebebasan untuk mencapai keinginannya. Kadang-kadang perbuatan ini dilakukan secara langsung jika siswa yang frustasi merasa memiliki cukup kekuatan untuk menyerang penghalangnya.
  2. Agresi tak langsung yaitu sikap melawan dengan rasa marah terhadap penghalang kebebasan untuk mencapai keinginan itu dilakukan dengan cara mencari sasaran lain.
  3. Mengundurkan diri adalah sikap menerima penghalang keinginannya untuk disimpan di dalam jiwanya dan akan dilampiaskan setiap ada kesempatan.
  4. Gangguan psikosomatis adalah timbulnya sesuatu penyakit tubuh karena frustasi tersebut. Umpanya saja, rasa gatal pada kulit, rasa pusing kepala.
  5. Rasionalisasi adalah sikap yang dilakukan dengan memberi arti yang sebaliknya terhadap penghalang keinginan-nya untuk berpuas diri.
  6. Regresi adalah sikap melawan penghalang keinginan yang dilakukan dalam bentuk yang menyerupai perbuatan anak yang lebih kecil.
Apabila tuntutan sekolah terlalu berat hingga per-alihan dari suasana rumah selalu mendadak, akan menyebabkan bermacam-macam reaksi pada anak (siswa). Akibatnya mereka menjadi penurut, pengambil muka, pengelamun, dan penentang.

Sebagai upaya untuk mencegah berbagai reaksi siswa yang dapat mengganggu proses belajar-mengajar akibat frustasi, maka ada lima hal yang dapat dilakukan. Pertama, mengusahakan agar tuntutan sekolah tidak terlalu berat.

Kedua, mengurangi ketaatan berlakunya tata tertib. Ketiga, memberi contoh yang banyak. Keempat, tidak melakukan obral hukuman. Kelima, menjelaskan maksud dan tujuan tata tertib itu justru untuk menyelamatkan pertumbuhan anak sendiri.

Tidak Terlalu Beratnya Tuntutan Sekolah
Anak yang datang ke sekolah adalah untuk meminta pertolongan demi mengembangkan fungsi-fungsi jiwa raga-nya sesuai dengan kemungkinan-kemungkinannya, dalam suasana yang bebas, udara yang segar, dan ruang gerak yang leluasa. Karena itu, adanya tata tertib yang diterima oleh anak sebagai sesuatu yang membatasi dirinya, justru merupakan penekanan terhadap perkembangannya. Mungkin sesuatu fungsi jiwa atau raganya berkembang, tetapi perkembangan itu tidak mempunyai arti bila fungsi-fungsi lain harus tertekan.

Mengurangi Keketatan Berlakunya Tata Tertib
Dengan menyadari maksud kedatangan anak ke sekolah bila ia mendapatkan pelayanan selayaknya, maka kalaupun harus diperlukan adanya kesanggupan anak menyesuaikan diri seperti yang dapat dilakukannya tanpa terlalu banyak cara menyesuaikan diri yang diharuskan kepadanya bila tidak ingin anak itu mengalami hal yang tidak diinginkan. Namun hal ini tidak berarti anak dibebaskan dari peraturan tata tertib yang berlaku di sekolah, tetapi diusahakan agar anak (siswa) sedikit demi sedikit mengikutinya, sehingga pada akhirnya nanti dapat mengikuti sepenuhnya peraturan tata tertib itu.

Memberi contoh yang Banyak
Dengan memberi contoh yang banyak dan mengurangi banyaknya peraturan tata tertib biasanya lebih berhasil. Hal itu sudah merupakan sifat kodrat manusia bahwa ia selalu meniru sebagian besar perbuatan yang dilakukan oleh manusia lain yang ada di sekitarnya yang sekiranya menuntun pada kemajuan perkembangannya. Anak memiliki sifat meniru. Lebih-lebih terhadap perbuatan orang-orang yang lebih dewasa daripadanya. Ia berusaha menunjukkan bahwa ia juga dapat berbuat semacam itu, Dengan proses peniruan inilah anak mendapat tuntunan yang wajar dalam suasana yang tenang dan udara yang segar.

Menjelaskan Maksud dan Tujuan Tata Tertib
Setiap tata tertib yang disertai keterangan yang jelas dan wajar sehingga mudah dipahami oleh anak, akan mengurangi rasa tidak puas yang timbul setiap ada-nya tata tertib itu. Lebih-lebih bila anak merasakan bahwa sebenarnya tata tertib itu adalah untuk kepentingan yang bersangkutan (mereka sendiri) agar mereka dapat belajar, merasa aman, merasa segar, merasa bebas, dan sebagainya sehingga mereka dilindungi, dibela ataupun diselamatkan dari gangguan.

Tidak Mengobral Hukuman
Peraturan tata tertib yang baik adalah peraturan tata tertib yang disertai penjelasan bahwa tata tertib itu berlaku untuk semua siswa demi kepentingan bersama agar bersama-sama pula kita merasakan kebebasan dan ketenangan. Sebaliknya, tata tertib yang disertai sanksi-sanksi hukuman, justru sering menimbulkan reaksi negatif dari tiap yang dikenai sanksi tersebut karena dirasakan sebagai suatu tantangan.

Memang benar bahwa hukuman merupakan pula alat pendidikan yang berfungsi sebagai petunjuk untuk mengenalkan kepada anak tentang mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Suatu hal yang perlu diingat bahwa sebagai suatu alat, hukuman baru boleh digunakan bila tidak ada alat lain yang dapat digunakan. Dengan mengobral hukuman sama dengan menumpas perkembangan anak,

Hukuman yang diberikan kepada siswa haruslah hukuman sejati. Hukuman yang sejati itu harus mewujudkan terbentuknya sifat positif pada anak, bukan sebaliknya. Untuk itu diisyaratkannya hukuman sebagai berikut:
  1. Hukuman haruslah menerbitkan rasa bersalah.
  2. Hukuman harus selalu menimbulkan rasa menderita bagi si penghukum.
  3. Hukuman harus berakhir dengan pengampunan.

Siswa Membutuhkan Pengertian

Dengan memahami bahwa masa pemuda merupakan suatu rasa yang sulit tetapi sangat penting dalam hubungannya dengan rasa yang akan datang. Itulah sebabnya para pendidik (guru) haruslah berusaha agar para pemuda mengerti bahwa mereka berada pada saat yang penting tetapi sulit. Agar adanya pemahaman guru terhadap para siswanya diperlukan pengertian dari para guru/pendidik. Para pemuda baru akan mengerti jika pendidik menanamkan pengertian itu dan pendidik baru akan dapat menanamkan pengertian bila ia sendiri telah mengertinya.

Untuk menanamkan pengertian itu bukan suatu tugas gampang bila pendidik (guru) hanya memiliki pengertian yang samar-samar. Dalam menanamkan pengertian tersebut pendidik harus mampu untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya, tentang sebab musabab, tentang akibat-akibat buruk yang mengancam pendidik harus mampu dan dapat menyediakan diri sebagai contoh, harus dapat menunjukkan tokoh-tokoh dalam sejarah, dalam cerita-cerita kuno dan dari orang-orang yang dapat dijumpai pada saat itu juga. Dengan jelasnya contoh-contoh tersebut pemuda tidak akan menjadi bimbang, bingung, kurang percaya dan sebagainya, sehingga benar-benar pemuda mampu menganalisisnya, kemudian mengambil kesimpulan sendiri,

Dalam hal ini, Ki Hajar Dewantara mengajarkan betapa penting dan sulitnya tugas pendidik, yang pada suatu saat harus dapat bertindak sebagai sumber pengertian, pengetahuan dan kepercayaan pemuda, di saat yang lain ia harus dapat menumbuhkan semangat, kemauan, bahkan tekad di dalam diri para pemuda dan di lain kesempatan ia hams bertindak sebagai contoh.

Kemampuan untuk melakukan Tribakti itu adalah mutlak bila pendidik benar-benar sadar akan tugasnya sebagai penyelamat para pemudanya. Hal itu berarti pula menyelamatkan bangsa dan tanah airnya. Pendidik tidak boleh bertindak atas kuasanya tanpa pengertian terhadap kehidupan para pemuda. Tindakan yang tanpa pengertian terhadap pemuda adalah tindakan yang hanya akan mengundang pertentangan, yang tentu saja justru akan disambut dengan pertentangan pula oleh para pemuda, Kita harus selalu ingat bahwa mereka memerlukan pengertian, yang diharapkan dari orang-orang yang mengerti. Kita harus selalu ingat bahwa mereka memerlukan contoh, bimbingan dan suri teladan dan bukan sekadar kotbah, larangan, dan perintah, Mereka telah berada di ambang kedewasaan, yang telah bersiap diri untuk menerima warisan orang tua, dan pastilah mereka mempunyai cita-cita untuk dapat berbuat lebih baik, lebih benar dan lebih sempurna daripada apa yang telah diperbuat orang tua.

Dalam hubungannya dengan proses belajar-mengajar di sekolah, meskipun semua siswa mempunyai cita-cita yang lebih tinggi atau lebih baik daripada orang tuanya, namun masih banyak di antara mereka yang tidak sepenuh hati mengikuti pelajaran. Mereka bermain-main dalam mengikuti pelajaran. Kalaupun mereka diam atau menganggukkan kepala ataupun menulis materi pelajaran, mereka sebenarnya hanya takut kepada gurunya. Selain itu, ada juga di antara mereka yang malas datang di sekolah atau datang di sekolah, tetapi pulang sebelum jam pelajaran berakhir atau lebih dikenal dengan istilah bolos.

Siswa yang sering bolos dari sekolahnya atau siswa yang bermasalah seperti yang telah dikemukakan di atas biasanya mempunyai masalah di rumah. Masalah itu tidak dapat terpecahkan sehingga dibawa ke sekolah. Masalah di mraah itu tidak dapat terselesaikan karena orang tua sibuk sehingga siswa kurang mendapat perhatian. Padahal siswa sangat memerlukan perhatian dari orang tuanya.



Sumber :
Corey, Gerald, 1988. Teori dan praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Eresco.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1994. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 

No comments:

Post a Comment